novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Sabtu, 06 Februari 2010

cobaan dalam memberi asi



Allah akan menguji kesabaran hambanya-Nya. Namun tidak akan menguji diluar batas kemampuannya..Sewaktu hamil anak pertama, aku mengalami cobaan yang lumayan berat. Ditinggal oleh suami bekerja ke Jakarta. Waktu itu aku tengah hamil 2 bulan. Kuputuskan untuk tetap tinggal dirumah orangtua di Medan, karena terlalu riskan rasanya mengikuti suami dalam keadaan hamil muda.

Mulanya aku kira bisa tegar seperti yang kupikirkan. Ternyata setelah menjalani kehamilan tanpa kehadiran suami, rasanya berat juga. Apalagi aku sedang mual-mualnya. Dan baru merasa enak makan setelah hamil 5 bulan. Meski didekat orang tua yang siap memberi dukungan, tetap saja kurasakan berbeda.

Misalnya saja. Keinginan untuk bermanja-manja dengan suami tak tercapai. Belum lagi rasa rindu yang tak bisa kutumpahkan setiap saat. Untungnya suamiku pengertian. Hampir setiap hari dia menanyakan keadaanku lewat telepon. Lewat teleponlah aku bisa bermanja-manja pada suamiku. Tapi, tetap saja ada yang kurasakan kurang.

Terkadang aku ingin sekali saat periksa kehamilan ke bidan, suamiku bisa menemaniku, karena ibukulah yang selalu menemaniku periksa. Atau saat kehamilanku sudah besar, aku ingin sekali dia mengelus-ngelus perutku. Merasakan betapa gesitnya anak kami didalamnya.

Tibalah saatnya melahirkan. Meski sudah diberitahu oleh dokter kapan tanggal dan bulannya anakku akan lahir, tetap saja suamiku belum bisa pulang., karena dia baru diterima bekerja, hingga tidak bisa seenaknya meminta ijin. Apalagi tidak bisa dipastikan kapan tepatnya aku melahirkan. Bisa saja lebih cepat atau mundur dari tanggal yang diperkirakan. Alhasil begitu perutku mules-mules dan sudah pembukaan 2, baru keluarga besarku menelepon suamiku.

Impian agar melahirkan didampingi oleh suami pun tak bisa terpenuhi.. Padahal aku ingin sekali suami berada didekatku, disaat aku berjuang ditengah rasa kesakitan yang baru pertama kali aku rasakan. Jadilah aku melahirkan hanya ditemani oleh ibuku. Setelah anakku lahir, barulah suamiku datang. Meski suamiku sudah berusaha mendapatkan tiket pesawat yang pertama, tapi nyatanya dia baru bisa dapatkan tiket berikutnya, hingga tak terkejar waktunya untuk menemaniku melahirkan anak pertama kami, yang berjenis kelamin perempuan.

Tak sampai disitu cobaan kualami. Sehabis melahirkan aku mengalami babi blues. Memang katanya perempuan yang baru melahirkan hormonnya belum normal kembali. Apalagi suamiku hanya dikasi ijin sebentar. Diapun kembali ke jakarta. Aku baru boleh menyusulnya setelah anak kami berumur lima bulan.

Karena dilanda depresi, aku pun sempat menolak menyusui anakku, ditambah lagi aku kurang percaya diri dalam menyusui. Entah mengapa, setiap hari aku dilanda kecemasan yang amat sangat. Takut anakku sakit atau terjadi apa-apa dengan bayi kami. Belum lagi rasa panik karena takut tidak bisa mengurus sikecil. Kerap aku menangis tanpa sebab. Bawaannya sedih terus. Padahal semuanya baik-baik saja.

Karena lebih sering kuberi susu sapi, akibatnya anakku mengalami alergi. Badannya merah-merah hingga kewajahnya. Tak hanya itu, tinjanya juga keras, sehingga dia kerap menjerit bila ingin buang air besar. Akupun bertambah kalut dan tertekan. Karena harus bolak-balik membawanya ke dokter. Setelah kondisi psikisku normal kembali, aku pun berusaha mengurus sikecil dengan sebaik-baiknya. Tapi yang membuatku merasa bersalah, saat asiku tak lagi keluar karena jarang menyusui. Padahal aku ingin sekali menyusui anakku kembali.

Aku benar-benar merasa bersalah hingga kini. Karena kondisi anak pertamaku yang kini berumur 7 tahun, berbeda dengan kedua adik-adiknya. Dia mudah sakit bila sedang kecapekan atau terkena hujan. Tak jarang dia sesak nafas bila batuknya tak mau berhenti. Dalam hati, akupun bertekad untuk menyusui bila punya anak lagi. Ketika anak kedua lahir akupun menyusuinya dengan penuh percaya diri. Meski hanya sampai usia enam bulan.

Aku berhenti menyusui karena lagi-lagi Tuhan mencoba kami. Tiba-tiba anak keduaku diserang diare yang kronis.Hampir satu bulan kami bolak-balik membawanya berobat. Tapi tak jua sembuh. Sampai dokter menyarankan agar anak kami dirawat inap. Dan setelah tinjanya diperiksa dilaboratorium, ternyata ada virus yang menggerogoti ususnya. Dan virus tersebut sangat asing serta jarang ditemui didunia kedokteran. Hingga anak kami disarankan untuk berpuasa selama tiga hari, agar ususnya diistirahatkan dulu.

Betapa sedihnya menyaksikan putra kami menangis disaat kehausan. Kami tak boleh memberikannya apa-apa, selain obat. Bahkan air putih sekalipun. Aku juga disuruh berhenti dulu menyusuinya. Sebab setiap kususui, anakku langsung mencret. Jadi dia hanya diberi infus saja selama berpuasa, agar kondisinya tidak terlalu lemah.

Aku tak mengerti mengapa tak boleh menyusui anakku. Aku tak ingin berprasangka macam-macam pada dokter waktu itu. Yang ada dipikiranku anakku segera sembuh. Meski belakangan banyak kudengar kritikan dari orang-orang sekitar bahwa tak masuk diakal anak yang sakit tidak boleh diberi asi.

Tapi aku tak mau menyalahkan siapa-siapa. Karena akhirnya anak kedua kami bisa sembuh setelah selesai menjalani puasanya selama tiga hari. Anakku hanya boleh diberi susu kedelai sampai beberapa bulan.Kini setelah berusia 5 tahun, anak keduaku tumbuh sehat. Dia tidak gampang sakit seperti kakaknya. Mungkin karena pernah kuberi asi hingga 6 bulan. Jadi lebih kuat fisiknya.

Disaat hamil anak ketiga, kembali cobaan berat aku alami.Bahkan aku merasa lebih berat dari hamil anak pertama. Tak seperti hamil anak pertama dan kedua. Mual dan muntah yang biasanya hanya kualami selama trimester pertama usia kehamilan, dihamil kali ini aku alami sampai trimester ketiga. Aku sulit makan, karena selalu enek. Belum lagi muntah yang tak kunjung hilang meski usia kehamilanku sudah menginjak sembilan bulan.

Aku begitu stress sebab perut rasanya selalu perih minta diisi, tapi selera makan tak ada karena mual yang selalu datang. Karena siangnya aku tak makan, maka malam hari aku tak bisa tidur karena perut keroncongan. Tak kuduga, suamiku rela bangun tengah malam untuk membuatkan bubur untukku, walau hanya bisa masuk beberapa suap.

Dia juga mau membuatkan teh manis disaat aku ingin makan biscuit saja, walau hanya beberapa potong. Kegiatan lebih banyak kulakukan di tempat tidur, karena kondisi fisikku yang lemah. Bahkan untuk buang air kecil aku harus menggunakan pispot. Sudah empat kali aku dirawat di rumah sakit, karena maagku kumat.

Karena tidak kuat menjalani kehamilanku, aku pun mengalami depresi. Aku kehilangan minat terhadap apapun. Yang kulakukan hanya menangis. Bahkan untuk tersenyum pun aku sulit. Bila ada yang mengajakku berbicara, termasuk suamiku, aku tak berminat untuk menjawab. Aku lebih banyak diam. Tiba-tiba saja aku kehilangan semangat. Aku menjadi pribadi yang lemah dan tidak ikhlas dalam menjalani kehamilanku.

Ditengah kondisi mental yang seperti itu, suamiku tak pernah berhenti untuk memberikan dukungan moril padaku. Mengingatkanku agar sabar dalam menjalani cobaan ini. Penuh kasih sayang dia mengatakan bahwa aku harus ikhlas menerima kehamilanku.

Tak hanya itu, selama di rumah sakit, dengan sabar suamiku menunggui dan merawatku. Sampai-sampai dia sering cuti dari pekerjaannya. Aku sangat terharu melihat sikap suamiku padaku. Baru kusadari, betapa besar cintanya padaku. Sungguh beruntung aku menjadi istrinya. Meski suamiku bukanlah seorang lelaki yang kaya raya.

Karena kondisiku yang lemah, dan anak yang kukandung dalam posisi sungsang, aku pun melahirkan dengan cara dioperasi. Rasa takut akan dioperasipun kualami. Setelah dibius lokal, aku tiba-tiba merasa panik, hingga perutku bertambah mual. Untunglah aku bisa melewatinya.

Anak ketigaku lahir dengan selamat. Meski beratnya pas-pasan yaitu dua kilo setengah, tapi dia terlihat begitu sehat.Sesuai tekadku, aku pun menyusuinya hingga sekarang dia berumur satu tahun lebih. Bahkan susu sapi dari rumah sakit tak kuberikan pada anakku. Sebab aku hanya ingin dia meminum asiku saja.

Meski diawal-awal aku harus menahan sakit karena habis operasi. Aku berniat untuk menyusuinya terus hingga dua tahun. Syukurlah air susuku selalu cukup. Mungkin karena aku semakin percaya diri dalam menyusui, juga dengan tekad yang benar-benar bulat. Hasilnya, anak ketigaku yang berjenis kelamin perempuan sangat gesit dan ceria, meski badanya tergolong kecil.

Sejak lahir hampir tak pernah dia sakit-sakitan. Apalagi batuk atau pilek.Kondisi fisiknya kuperhatikan juga lebih kuat dari kedua kakaknya. Manfaat dari menyusui benar-benar terbukti.Aku sangat bersyukur pada Tuhan, karena telah memberikanku kembali kesempatan untuk menyusui anakku hingga sekarang. Apalagi anak ketigaku ini terlihat lebih cerdas dan sehat dari anakku yang lainnya. Aku begitu bahagia setiap melihat senyum polosnya yang begitu menghibur kami sekeluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut