novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Sabtu, 12 April 2014

Cinta Rasa Kiwi - Cerpen

" TEETT…Teeettt…..!"
Bis berwarna kuning kemerahan segera berhenti tepat di depan sebuah halte ketika mendengar suara bel dari kursi salah satu penumpangnya. Seorang wanita berbalut mantel berbulu bergegas turun dengan langkah gesit. Melihat ke kiri dan kanan dengan wajah lelah sebelum menyebarang jalan untuk menuju ke apartemen mungilnya.. Kehangatan mulai menyergap tubuhnya begitu memasuki apartemen. Setelah beberapa menit tubuh langsingnya bergelut dengan udara dingin di sepanjang jalan kota Auckland. Tapi tidak dengan hatinya sejak ditinggal Eki suaminya, yang memilih pindah apartemen.

Hal pertama yang dilakukannya adalah menuju dapur sambil membawa sekantung buah yang baru saja ia beli di supermarket Two Double Seven. Salah satu supermarket terbesar di kota Auckland. Sebelum ia menuju kamarnya yang lengang tanpa suara dan sambutan hangat Eki seperti biasanya. Memilih dan mengupas buah yang kulit dan rupanya mirip sawo itu dengan sepenuh cinta untuk ia buat jus yang menyegarkan.

Gold kiwi lebih ia sukai daripada Green kiwi. Selaian rasanya yang lebih nikmat, ada bonus tambahan yaitu vitamin E yang lebih tinggi untuk kecantikan kulitnya. Sebagaimana dirinya yang selalu mengejar bonus tambahan jam kerja agar dolarnya juga bertambah. I love it! Di tengah aroma kiwi yang unik, terngiang-ngiang kembali perkataan Eki sebulan yang lalu.

"Kapan tabungan kita bisa penuh, kalo terus kamu kirimkan ke Bandung? Aku kecewa padamu dalam hal mengatur keuangan rumah tangga kita. Tak mungkin kan, seumur hidup kita bekerja keras terus di negeri asing?" protes Eki di tiga tahun usia pernikahan mereka.

Deg! Serasa beribu-ribu benda tajam menusuk ulu hatinya di tengah kebimbangan akut. Siapa yang harus ia pilih? Keluarganya atau suaminya? Akh, terlalu sulit sebab keduanya bukanlah untuk dipilih.

Tapi untuk diajak bekerja sama agar bisa mengerti dirinya. Mamanya dan adik-adiknya yang selalu menuntut uang untuk biaya hidup karena terbiasa hidup enak ataukah Eki suaminya yang gajinya tak setinggi dirinya.

Sehingga dia harus lebih bekerja ekstra demi kelangsungan keuangan rumah tangga mereka dan keuangan keluarganya.

Dulu selama ayahnya baru menjabat sebagai pengacara, fasilitas hidup mereka terasa membuai. Rumah besar, mobil kantor dan gaji ayah yang lumayan. Namun semua fasilitas dan kemewahan hidup melayang sejak ayahnya tak pernah mau menerima uang sogokan. Yah, sebagai pengacara ayahnya kelewat lurus.

Bagi ayahnya bekerja adalah sebuah kecintaan dan pengabdian, bukan semata-mata karena uang. Sepeninggal ayahnya, prinsip itu terus ia pegang dengan mencari uang secara halal meski harus membanting tulang.

Dia kembali asyik dengan kiwi di tangannya. Meskipun bayang-bayang kepahitan hidup terus mengganggunya. Pertama kali mengenal dan merasakan khasiat buah kiwi yang dahsyat, dia mulai jatuh cinta karena merasakan adanya kecocokan dengan buah unik ini.

Kandungan antioksidannya yang tinggi dan vitamin C nya yang dua kali lipat lebih banyak dari buah yang lainnya memang sangat dibutuhkan untuk stamina tubuhnya yang sering bekerja di luar batas.

Sayangnya mengapa tak secocok dirinya dengan Eki? Terutama dalam hal keuangan. Lelaki yang telah mampu membuatnya jatuh cinta dibanding lelaki-lelaki yang selama ini pernah mengejarnya. Eki memang beda, karena berani meluluhkan hati seorang wanita yang kelewat mandiri dan tangguh seperti dirinya. Akibat terus ditempa oleh hidup yang tidak ringan.

Sementara lelaki lain memilih mundur teratur karena menganggap dirinya adalah wanita yang tak membutuhkan pendamping. Wanita yang tak umum di mata pria yang hanya beranggapan bahwa wanita adalah makhluk lemah yang harus selalu dilindungi dan dijaga bak porselen. Sementara dirinya terbiasa memecahkan semua persoalan hidupnya sendirian.

Tapi benarkah demikian? Sejatinya dia juga seorang wanita yang butuh penguatan dari seorang pria sejati.

Tapi untuk detik ini dia tak butuh Eki ataupun mesin penghangat apa pun untuk kembali membuat hatinya yang dingin menjadi panas kembali oleh semangat yang membara. Yang dia butuhkan hanyalah segelas jus kiwi yang segar dan menggoda. Meskipun tak ia pungkiri kehadiran Eki dalam hidupnya semakin membakar geloranya, terutama dalam bekerja.

Namun Eki sendiri juga yang berusaha melumerkan kehangatan itu lewat sikapnya yang lebih dingin dari salju negara manapun di musim dingin yang menggigit. Hingga kengiluan yang teramat perih mengalir di sekujur tubuh ringkihnya.

Dia benar-benar butuh pertahanan lebih untuk raganya yang mulai membeku kedinginan dan terkepung keletihan yang amat sangat akibat bekerja lembur beberapa hari ini.

Jangan sampai fisiknya ambruk karena kurangnya suplemen penting penopang hari-harinya selama di negeri orang. Pilihannya jatuh pada suplemen alami yaitu buah yang bertekstur halus dengan rasanya yang unik. Buah dengan perpaduan rasa manis dan asam yang sempurna. Seunik asam manisnya cinta yang ia alami. Yah, Buah Kiwi! Buah yang namanya diambil dari nama burung yang tak bisa terbang dari Selandia Baru. Yang menjadi simbol nasional negara persemakmuran ini.

Cerita hidupnya sendiri dimulai ketika ia memutuskan untuk pergi ke Auckland karena desakan ekonomi. Setelah puas mengadu nasib sebelumnya di negeri Jiran Malaysia dan Hongkong sebagai Babu.

Tapi sesampainya di negeri Kiwi tak mudah untuk segera mendapatkan pekerjaan. Tak seperti di Malaysia atau Hongkong yang banyak membutuhkan tenaga rumah tangga. Di Auckland pekerjaan seperti itu jarang ada lowongan. Paling banyak diterima sebagai tukang cuci piring atau chef. di restoran-restoran. Pernah hampir 3 hari ia berkeliling berjalan kaki mencari pekerjaan.

Sampai akhirnya di sebuah cafe Turki di daerah ponsonby ia diberi kesempatan untuk dipekerjakan sebagai tukang cuci piring. Ia ingat, malam itu malam Sabtu, weekend, restoran lumayan ramai.

Perihnya ia yang tidak punya pengalaman sama sekali hingga jadi bulan-bulanan. Diperintah dengan nada yang tinggi, dibentak, dimaki-maki karena tidak tau cara mengoperasikan dish washer. Ia juga disuruh bekerja lebih cepat, lebih cepat lagi. Padahal sudah setengah mati ia berusaha untuk bekerja secepat yang ia sanggup.

Setelah semua pekerjaan selesai-- piring-piring dan semua perkakas bersih-- sampah-sampah sudah dibungkus rapi dan diletakkan di tempat sampah--seluruh lantai yang lumayan luas sampai dengan toilet sudah mengkilat ia pel, dengan entengnya mereka mengatakan padanya bahwa ia tidak dapat bekerja lagi di tempat itu. Ternyata mereka hanya memanfaatkan tenaganya saja! karena tukang cuci piring mereka yang juga orang Turki tidak datang malam itu.

Tragisnya lagi ia sama sekali tak diberi upah atas kerja kerasnya malam itu. Akhirnya dengan keadaan keuangan yang masih tak menentu, ia hanya bisa tinggal di lantai atas sebuah toko milik seorang imigran dari Afghanistan yang berada di daerah Queen Street. Tempatnya lusuh dan tidak terawat, hanya saja lapang dan dapat ditiduri banyak orang. Jadi ia bisa menghemat pengeluaran untuk tempat tinggal karena cara membayar sewanya secara keroyokan tiap minggunya.

Sampai akhirnya keberuntungan berpihak padanya. Seorang teman yang berasal dari Jakarta, menawarinya pekerjaan untuk menggantikannya sebagai Kitchen Hand. Meski sedikit senang karena akhirnya mendapatkan pekerjaan, ia bertekad untuk memperbaiki nasib! Bukan hanya karena tangannya sering bengkak akibat mencuci piring seharian-- sebab ukuran piringnya yang jauh lebih besar dari piring di negerinya.

Alasan lainnya tak mungkin selamanya ia menjadi tukang cuci piring di negeri orang. Harus terjadi perubahan agar penghasilannya meningkat. Untuk itulah di tengah mengurusi piring-piring yang kotor, ia sempatkan untuk belajar memasak pada Paul, chef senior restaurant.

Akhirnya kesempatan itu datang juga padanya. Ternyata buatannya dipuji oleh head chef. Sejak itu ia dipercayakan untuk mengolah aneka dessert dan muffin untuk breakfast. Sampai akhirnya ia bisa membuat bermacam-macam aneka dessert, muffin dan cake. Dia pun terus mengolah keahliannya sebagai chef baru.

Disamping ilmunya ia dapatkan dari para chef, ia juga rajin browsing resep lewat internet dan mencobanya di kitchen berdasarkan kreatifitasnya sendiri. Dan hasilnya benar-benar tidak mengecewakan.

Otomatis setelah menjadi chef, penghasilannya meningkat jauh lebih tinggi dari penghasilannya selama menjadi kitchen hand alias tukang cuci piring. Akhirnya ia dapat mencicil hutang-hutangnya, mengirimkan sebagian gajinya ke Bandung dan mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit untuk ditabung. Di tengah dia mengiris - iris Gold kiwi tiba-tiba "beb …beb…bebbbbb", Hp nya berbunyi. Setengah malas ia mengangkatnya.

"Oh Mama. Ada apa Ma?." Kira-kira apalagi nih, batinnya lesu.
"Dira, adikmu Tedi masuk penjara.karena kasus narkoba. Kita harus segera menebusnya Dira. Mama takut sekali bila dia harus lama mendekam di sana," isak suara Mamanya nun jauh di sana.

"Iya Ma segera," jawabnya malas.
Niatnya untuk membuat jus kiwi murni, akhirnya berubah haluan. Di tengah gemuruh nafasnya yang memburu karena rasa marah, dia segera mengeluarkan aneka sayuran dan buah lainnya sebagai campuran.

Sebelum di jus, terlebih dulu sayuran mentah seperti wortel, sawi daging, dan buah beetroot untuk menurunkan tekanan darahnya yang mulai meninggi ia rendam dalam air dingin yang diberi sedikit garam dan perasan jeruk nipis selama 5 menit. Harapannya, dengan banyaknya campuran, rasa asam pada kiwi akan semakin tersamarkan. Bagaimanapun, dia harus bisa meminimalkan asam pahitnya kehidupan yang kini ia jalani.

Sekali lagi ia dapatkan bonus tambahan karena Raw Juice juga berguna untuk mencegah berkembangnya radikal bebas dalam tubuh.

Minuman yang tak boleh ia sia-siakan! Alhasil, dia berhasil menyaksikan irisan-irisan buah dan sayur hancur dibantai oleh blender kapasitas tinggi dengan rasa puas. Sebagaimana hidupnya yang terus dibantai oleh masalah. Sudah ia duga akan begini jadinya. Jauh sebelum diperingatkan, Tedi adiknya tak pernah menuruti perintah keluarga termasuk dirinya, agar jangan main-main dengan obat haram tersebut. Tapi bukan Tedi namanya kalo belum kena batunya dia tak akan pernah berhenti.

"Sekarang tanggunglah sendiri akibatnya," umpatnya kesal. Dia tak mau mengeluarkan uang sepeser pun demi kebebasan Tedi. Masalah Mama adalah urusan belakangan. Sekaranglah saatnya keluarganya harus tahu bahwa uang yang ia peroleh selama ini adalah hasil kerja keras, bukan untuk dihambur-hamburkan. Biar Tedi juga bisa merasakan sulitnya mencari uang dari hasil keringat sendiri.

Selama ini dia mengira dengan selalu menuruti kemauan keluarganya untuk mengirimkan sejumlah uang yang jumlahnya kian meningkat seiring pendapatannya yang terus melambung adalah salah satu cara untuk bisa berbuat adil. Nyatanya? Dia tak pernah adil pada dirinya sendiri. Sudah saatnya dia memperhitungkan kebahagiaan hidupnya sendiri.Yah, hidupnya tak harus selalu merasakan asamnya saja, tapi butuh yang manis juga.

Dan kebahagiaan hidup bersama Eki adalah sesuatu yang sangat manis untuk diperjuangkan. Tanpa menunggu lagi, dia segera mengambil jaket bulunya dan bergegas ke luar apartemen dan menyebrang jalan menuju halte yang bisa mengantarkannya ke Onehunga, apartemen Eki.

"Tunggu aku my sweetheart. Akan kita selesaikan masalah rumah tangga kita yang kelewat asam menjadi indah dan manis seperti coklat."(Oleh: Irhayati Harun)

Dimuat Di MedanBisnisDaily 30 maret 2014

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut