novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Jumat, 27 Agustus 2010

rumah baru untuk ibuku




oleh Iir Harun pada 28 Agustus 2010 jam 11:34

ceritaku yang masuk nominasi 20 pemenang dari 30 ribu peserta dalam lomba 100- blog kisah tentang ibu bersama ungu

Ibu tak pernah mau rumahnya dijual, meski dia harus tinggal sendiri tanpa anak-anaknya. Padahal kami khawatir dengan ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Bayangkan saja, hampir semua anak ibuku tinggal dirantau. Ada yang di Jakarta, ada yang di Padang, dan ada yang di Yogyakarta.. Sebenarnya bukan setelah anak-anaknya menikah saja ibu harus rela ditinggal sendiri di Medan. Semenjak anak-anak ibuku tamat SMA, hampir semuanya memilih merantau ke Yogya untuk kuliah, termasuk diriku. Tak dapat kubayangkan bagaimana kesepiannya ibuku. Apalagi ayahku telah lebih dahulu dipanggil Tuhan. Otomatis ibu sering sendirian.

Tapi ibuku tak pernah melarang anak-anaknya untuk pergi. Baginya yang utama adalah, anak-anaknya menjadi orang yang pinter dan bisa bersekolah setinggi-tingginya. Meski harus merantau meninggalkan dirinya. Ibuku benar-benar mengikuti sunnah nabi yang berbunyi “ tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Sungguh luar biasa sosok ibuku di mataku. Padahal setiap kami kembali lagi ke Yogya setelah masa liburan habis, mata ibu akan berembun karena sedih dan haru. Sedih karena harus kembali ditinggal anak-anaknya dalam jangka waktu yang lama. Haru, demi melihat kami bisa mencicipi jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Setelah menikah, aku sangat ingin ibu pindah ke Jakarta. Selain semua anaknya tinggal di ibukota, aku ingin tinggal berdekatan dengan ibu. Maklumlah. Sedari SMA hingga menikah, aku hidup dirantau terus. Aku ingin membahagiakan beliau dengan sering mengunjunginya dan mengurusnya. Dan itu bisa terlaksana kalau ibu tinggal tak jauh dariku. Tapi ibu menolak dengan alasan tak ingin meninggalkan rumahnya yang penuh kenangan asam dan manisnya hidup bersama Abak. Akh, ibu. Tak inginkah dihari tuamu, kau bisa berkumpul dengan anak-anakmu? Padahal kami sangat merindukan hal itu.

Untuk mengobati rasa kangenku pada ibu, setahun sekali ibu kukirimi ongkos untuk datang ke Jakarta. Begitu sampai di Jakarta, ibu akan kubawa pergi jalan-jalan kemanapun dia suka. Bahkan ke kolam renang sekalipun, bersama anak-anakku yang ingin berenang. Tapi ibu paling suka bila kuajak ke pasar Anyar Bogor. Kebetulan aku tinggal di daerah bojonggede yang tak jauh dari bogor. Jadilah dengan nekat kuajak ibu naik kereta. Meski awalnya ibu takut, tapi kulihat dari matanya ibu begitu antusias dan bahagia dengan ajakanku.

Namun saat ibu harus kembali lagi ke Medan, aku tak dapat menutupi rasa sedihku padanya. Dan lagi-lagi aku meminta agar rumah di Medan dijual saja, supaya ibu bisa membeli rumah tak jauh dari rumahku. Agar setiap saat aku bisa bersama ibu dan mengajaknya jalan-jalan. Juga membacakan cerita-ceritaku padanya. Kebetulan aku suka menulis cerpen dan sering dimuat di media. Ibu berkata akan mempertimbangkannya. Aku merasa diberi setitik harapan. Hingga berdoa semoga ibu tak merubah niatnya untuk membeli rumah di daerah bojongggede. Karena ibu merasa betah tinggal di daerah tempat tinggalku yang menurutnya sejuk dan tidak panas seperti di Jakarta.

Beberapa bulan setelah ibu pulang ke Medan, ibu jatuh sakit. Kami pun memutuskan untuk mengobati ibu di Jakarta saja, agar lebih efisien dan efektif. Mengingat hampir semua anaknya tinggal di kota metropolitan. Ibu pun tak menolak dan segera kembali lagi ke Jakarta untuk berobat. Begitu sampai, ibu segera kami bawa berobat ke dokter. Dan vonis yang mengerikan itu benar-benar menghancurkan hati kami anak-anaknya. Ibuku positif terkena kanker ganas. Duh Robbi!

Benar-benar tak kuduga sebelumnya. Ditengah kebahagiaanku mendapat kabar bahwa salah satu cerpenku di annida online akan dibukukan bersama 11 penulis lainnya, ibu harus terkapar dirumah sakit karena menderita kanker dan komplikasi paru-paru yang parah. Mengapa cobaan itu datang ditengah kegembiraan yang seharusnya kubagi dengan Ibu, yang selama ini selalu setia mendengar cerita –ceritaku.

Aku tak bisa lupa betapa antusiasnya ibu memintaku untuk membacakan ceritaku yang dimuat, karena matanya mulai kabur diusianya yang sudah beranjak senja. Dengan senang hati aku pun membacakan ceritaku sendiri untuk ibu hingga selesai. Dia pun dengan tekun menyimak setiap kata demi kata yang aku bacakan untuknya. Juga ketika kuutarakan pada ibu bahwa aku ingin membuat cerpen tentang gempa dengan judul “ Rumah mande” Cerpenku yang akhirnya di muat oleh annida –online dan menjadi cerpen pilhan pembaca dibulan nop 2009. hingga dibuatkan video testimoninya.

“Nanti rumah ibu benar-benar kena gempa, Ti,” ucapnya sambil tertawa tergelak-gelak.

“Gak mungkinlah bu. Ini kan cuma sebuah cerita,” jawabku ikut tertawa. Kami pun tertawa bersam-sama setelah itu. Baru kali ini kulihat ibu bisa tertawa begitu senangnya. Setelah sekian lama hatinya dilanda duka.







Yah sejak kedua kakak lelakiku meninggal karena kanker, ibuku sempat murung dan bersedih. Bahkan tak lama abang tertuaku meninggal karena kanker hati. ibu pergi berjalan seorang diri entah kemana. Dia terus berjalan tanpa tujuan. Dan akhirnya pulang setelah kami menunggu dengan cemas dirumah.

“Entah mengapa, ibu tiba-tiba ingin berjalan kaki kemana ibu suka,” jawabnya saat kami tanya kemana saja dirinya. Akh…mungkin ibuku bingung harus bagaimana melepaskan rasa sedihnya karena baru kehilangan anak kebanggaannya yaitu Uda Wan, kakak tertuaku. Anaknya yang paling cerdas dan berprestasi. Hingga bisa sekolah keluar negeri tanpa biaya. Sekaligus tulang punggung keluarga penggati Abak yang telah lebih dulu meninggalkan kami.

Sungguh! Hati ini tak kuat membayangkan tubuh ibu yang sudah renta itu harus menjalani pengobatan seperti kemotrapi dsb. Apalagi yang kudengar dari orang-orang yang pernah terkena kanker mengatakan bahwa setelah habis dikemo, rasanya sakit sekali. Lebih baik digebug oleh orang sekampung daripada harus dikemo. Duh Robbi! betapa pilunya hati ini mendengarnya. Setiap malam aku menangis memikirkan ibu. Aku tak kuat memandang wajahnya yang selalu meringis menahan sakit

Aku hanya bisa berdoa agar Allah memberikan yang terbaik untuk ibuku. Ya Allah…kalau memang ibu masih diberi umur, sembuhkanlah penyakitnya. Tapi kalau memang umurnya sudah sampai, Mudahkanlah jalannya menuju tempat-Mu disana. Ringankanlah sakitnya. Berilah ia kekuatan dan ketabahan dalam menjalani penyakitnya. Doaku tiada henti

Akhirnya doaku dikabulkan oleh yang kuasa. Setelah beberapa bulan berjuang melawan sakitnya, akhirnya Ibu dipanggil oleh Allah dengan tenang dan mudah. Kami pun memutuskan untuk memakamkan ibu tak jauh dari rumahku. Niat untuk menguburkan ibu di Medan disamping makam ayah, tak bisa kami wujudkan. Mengingat akan menelan biaya yang sangat mahal dan memberatkan ibu sendiri. Karena harus menunda-nunda pemakamnnya dengan segera.

Akhirnya, ibuku benar-benar tinggal tak jauh dariku dirumah barunya.. Selamat jalan Bu. Semoga dirumahmu yang baru ini, kau akan merasa bahagia selama-lamanya. Karena doa kami anak-anakmu, akan selalu menemanimu disana. Amin…

Rabu, 25 Agustus 2010

ketika balitaku punya adik


Anakku protes dan menjerit histeris


Ketika pertama kali balqis anak pertamaku punya adik, ada rasa khawatir dihatiku. Maklumlah, selama ini hanya dia yang selalu kuurus dan kuperhatikan. Setelah adiknya lahir, otomatis perhatianku terbagi. Apalagi jarak mereka cukup dekat, yaitu 1 tahun setengah. Aku tak bisa lagi fokus mengurus balqis sepenuhnya. Seperti menyuapinya makan, memandikannya, hingga menidurkannya sambil mendendangkan lagu. Semua itu tak bisa lagi kulakukan rutin setiap harinya seperti dulu.
Tapi yang paling repot adalah mengurus makannya Balqis. Anak pertama ku ini paling susah makan kalau tidak disuapi. Selama ini aku dengan sabar menyuapinya makan. Tapi setelah adik lelakinya lahir, aku sering tak sempat apalagi disaat adiknya rewel atau sedang menyusui. Aku pun berinisiatif mempekerjakan pembantu yang khusus mengurusi balqis. Padahal tak mudah mencari pembantu yang cocok dan sayang dengan anak kecil.
Sempat kesel juga saat menemukan pembantu yang tak sabaran dalam mengurus anak kita sendiri. Selain kasihan, aku menjadi lebih repot karena harus gonta-ganti pembantu sampai ketemu yang cocok dan telaten mengurus Balqis anakku. Untunglah pada akhirnya kutemukan juga pembantu yang sesuai kriteriaku. Telaten, sabar dan sayang anak kecil. Masalah pertama pun selesai. Namun prakteknya tak semudah yang kubayangkan.
Suatu hari Balqis tiba-tiba ngadat dan tak mau disupain sama mbaknya. Dan puncaknya, dia menjerit histeris. Aku pun panik dan segera membujuknya. Tapi Balqis tetap menangis malah semakin keras tangisnya. Aku bingung sekali. Tampaknya Balqis benar-benar frustrasi dengan perlakuanku yang tak lagi seperti dulu.
Mungkin dalam pikiran kanak-kanaknya, ibunya lebih sayang pada adiknya dari pada dirinya, karena lebih banyak mengurus adiknya yang masih bayi. Apalagi malamnya aku sering bangun untuk menyusui. Maka siangnya disaat adiknya tidur kuusahakan untuk tidur juga. Demi melunasi hutang tidurku. Setelah kutanya berulang-ulang rupanya Balqis keberatan bila aku tak mengajaknya bermain, tapi memilih tidur. Dia pun menjerit sekeras-kerasnya menunjukkan rasa protesnya padaku. Weleh..weleh…!
Pernah juga aku dikejutkan oleh ulah balqis yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ketika aku sedang memasak di dapur, tiba-tiba perasaanku tak enak dan ingin segera melihat anakku di kamar. Masya Allah! Dengan mata kepalaku sendiri kulihat Balqis tengah menutupi wajah adiknya dengan sebuah bantal. Segera aku berteriak histeris sambil berlari untuk mengangkat bantal yang ada di tangan anak pertamaku itu. Aku benar-benar shok membayangkan seandainya aku telat sedikit, pasti adiknya menjadi korban. Balqis pun ikut menangis karena terkejut mendengar suaraku yang cukup keras saat berteriak tadi.
Sejak itu, aku tak ingin lengah lagi. Bila si mbaknya belum datang, kuputuskan untuk tidak meninggalkan adiknya ke dapur ataupun ke kamar mandi meskipun hanya sebentar. Anak seusia balqis memang masih polos. Dia belum mengerti dengan apa yang dia lakukan. Bahkan pernah juga kudapati balqis tengah menduduki adiknya. Maksudnya ingin mengajak adiknya bermain kuda-kudaan. Terang aja aku berteriak-teriak karena panik. Ya ampyun! Balqis benar-benar gak bisa ditinggalkan berdua dengan adiknya saja. Aku pun semakin berhati-hati dengan lebih mengawasi anak perempuanku itu.
Aku kerap merasa bersalah bila menyalahkan Balqis. Sebab dia belum tahu apa-apa. Sebagai gantinya, aku kerap melibatkan balqis dalam mengurus adiknya. Misalnya minta tolong untuk mengambilkan celana adiknya, bedaknya, juga mengajaknya memandikan adiknya. Tak kuduga, balqis senang sekali dilibatkan dalam mengasuh adiknya. Perlahan-lahan, dia pun mulai sayang pada adik barunya. Dan aku sendiri berusaha untuk tak berubah drastis dalam memberi perhatian padanya. Hatiku pun menjadi lega, saat balqis tak lagi rewel seperti awal pertama kali dia punya adik. Apalagi saat dia berkata dengan bangga pada teman-temannya, bahwa dia sekarang sudah punya adik yang lucu. Hatiku pun ikut bahagia mendengarnya.

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut