novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Selasa, 23 Februari 2010

Sahabat Sejati



sahabat sejati, kau dimana kini
lama kucari sampai putus asa
kau bagaikan jarum ditumpukan jerami

tidakkah kau tahu? aku rindu hadirmu
dikala kesusahan mendera, kuingin kau ada dan menghiburku
dikala kesenangan hadir, kuingin kau ada dan ikut merasakannya
kuingin selalu berbagi denganmu

kuharapkan selalu hadirmu, tapi tak seperti bayangan
yang hadir hanya pada saat terang benderang
sahabat sejati
maukah kau selalu menyertaiku?
tak hanya dalam terang, tapi juga dalam kegelapan hari-hariku
kusangat butuhkan dirimu
kita bersama-sama selalu, dalam berbagi kebahagiaan, kesenangan, dan pengalaman
hingga menangis dan tertawa bersama

orang yang kaya adalah orang yang memiliki sahabat sejati

masa lalu

seindah apapun masa lalumu, dia tak akan mungkin kembali lagi
sepahit dan sesedih apapun dia, biarlah dia tetap menjadi masa lalu
jangan kau ijinkan dia hadir kembali dalam hidupmu
sebesar apapun dosamu dimasa lalu
jangan kau biarkan dia menggerogoti jiwamu
pasarah dan mencoba menjadoi lebih baik
itulah tugas yang harus diselesaikan
dan ambillah hikamhnya

ingatkan dirimu kawan
bahwa hidup tak selamanya berjalan seperti yang kita inginkan
masih ada kekuatan lain diluar diri kita
Hnaya Tuhan yang memiliki kuasatas hidup hambanya
sebagai insan yang lemah, kita hanya bisa menjalani hidup ini sesuqai aturan dan takdirnya.
kepasrahanlah yang akan meringankan jalan hidup kita

puisi

puisiku adalah nyanyian batin
yang kutulis disaat hati pekat
untuk menguak antara nagan dan kenyataan

puisiku adalah nyanyian rindu
yang kutulis disaat hatiku lara
mengubah dukaku menjadi tawa

puisiku adalah nyanyian hati
yang kutulis disaat hatiku sepi
mungkinkah terbasuhlkan benci ini?

kutulis juga puisi disaat hatiku gembira
agar nyanyian kebersamaan kita semakin membahana


Takut Dan Cinta


Aku mencintai-Mu

Hingga rindu menjelma

Akan kutuntaskan rindu ini

Lewat pertemuan yang indah dengan-Mu



Tapi rasa takut pada-Mu

Membuat diri-Mu asing bagiku

Aku pun bersimpuh memohon pada-Mu

Jangan lagi Kau hadapkan diriku

Pada surga dan neraka-MU

Sebab aku tak butuh keduanya dalam mencintai-Mu

gila cemburu



Tidak ada yang istimewa dari wanita yang akan kujadikan pendamping hidupku ini. Wajahnya rata-rata, kulitnya coklat tua, dengan rambut sebahu yang tidak terlalu hitam. Badannya juga tak seputih dan setinggi mantan-mantan kekasihku. Tapi entah mengapa aku jatuh hati padanya, meski baru beberapa hari mengenalnya.

Sekali lagi, aku tidak main-main untuk menjadikannya sebagai istriku! Meski teman-temanku tak berhenti menyindirku dengan mengatakan, aku kena peletlah! Aku patah hatilah! Dan segala macam sindirin yang membuatku semakin tak ingin mundur dari niatku semula, untuk menikahi Lilis, gadis gunung yang sederhana.

Aku tahu, keputusanku ini terlalu terburu-buru. Mungkin karena Lilis begitu perhatian padaku, juga dengan anggota keluargaku.

Maklumlah! Sebagai anak sulung yang begitu dibanggakan dan diharapkan sebagai tulang punggung keluarga, aku harus tetap menunjukkan perhatian dan tanggung jawabku sebagai anak yang baik. Otomatis orang yang akan mendampingi hidupku kelak, haruslah wanita yang bisa menerima anggota keluargaku, terutama ibu. Dan Lilis melakukan itu semua diawal perkenalan kami. Setiap kubawa kerumah, dia tak pernah bertangan kosong. Ada saja oleh-oleh yang ia beli buat Ibu dan adik-adikku. Sikapnya juga begitu ramah pada Ibu, serta mampu mendekatkan diri dengan ketiga orang adikku

Adapun alasan yang lain karena aku bersimpati padanya. Selama ini dia hidup sebatang kara. Kakek yang merawatnya sedari kecil sudah meninggal dunia karena sakit. Sedangkan neneknya sudah wafat terlebih dulu. Lilis sendiri sedari kecil sudah tak memiliki ibu. Ibunya meninggal saat melahirkan dirinya. Sedangkan bapaknya, pergi begitu saja tanpa kabar berita. Mungkin menikah lagi aku tak tahu pasti. Yang aku tahu dari cerita Lilis, ayahnya menitipkan dirinya pada kakeknya sebelum pergi merantau ke Jakarta. Itulah alasan yang membuatku menerimanya.

Setelah menikah, baru kusadari bahwa Lilis begitu pencemburu. Mulanya Lilis cemburu pada semua wanita yang pernah dekat padaku. Aku maklumi, karena itu artinya dia begitu mencintaiku. Tapi disaat dia cemburu pada teman-teman priaku, aku merasa dia tak hanya sekedar cemburu. Sikapnya sudah mengarah pada prilaku possesif!. Mulanya aku tertekan, karena merasa Lilis sudah kelewatan.

Setelah merenung, aku pun mencoba mau mengerti. Mengingat kami masih pengantin baru. Mungkin Lilis tak ingin waktuku lebih banyak kuhabiskan tanpa dirinya disampingku. Lagi-lagi aku turuti maunya, untuk lebih memilih tinggal dirumah bersamanya.

Barangkali masalalunya yang pahit membuatnya takut kehilangan orang yang ia cintai, batinku. Akupun berusaha menghibur hatiku. Sejak menikah, aku tak lagi ngumpul-ngumpul dengan teman-teman gengku. Sepulang bekerja, aku langsung mendekam dirumah. Meski dihari libur sekalipun. Aku juga harus bisa menerima, saat teman-temanku mengatakan bahwa aku telah berubah seratus delapan puluh derajat! Tak lagi gaul seperti dulu.

Suatu hari Lilis mengetahui bahwa aku telah memberi uang belanja pada Ibu.

“Lilis ingin Aa’ memberi uang pada Ibu dan adik-adik lewat tangan Lilis,” ucapnya tegas.

“Apa maksud Lilis?” tanyaku menyelidik.

“Lilis merasa tersinggung kalau Aa’ memberikan uang pada Ibu dan adik-adik tanpa sepengetahuan Lis. Lilis kan kakak ipar mereka?” Begitu katanya saat aku bertanya alasannya.

Benar juga, pikirku. Seharusnya, aku tak menaruh prasangka negatif padanya. Untuk seterusnya, kupercayakan uang belanja dan biaya sekolah adik-adikku padanya.

Belakangan ini aku sering pulang lebih larut karena lembur. Badanku rasanya sakit semua. Seperti biasanya, Ibu akan memijatku penuh kasih sayang. Setelah badanku enakan, aku segera menemui Lilis di kamar. Sambutan Lilis tak seperti biasanya, yaitu penuh kelembutan. Dia juga tak menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Yang ada wajahnya kusut dan tak berkata sepatah katapun padaku. Tak salah lagi, Lilis ngambek!

Aku yang tak betah melihat sikapnya seperti itu, segera mencercanya dengan berbagai pertanyaan. Tapi Lilis tetap bungkam, membuatku semakin tak enak hati. Karena tak tahan lagi, akupun mengancam akan tidur diluar. Akhirnya Lilis membuka suara, meskipun sambil menangis.

“Lilis memang istri yang tak bisa menyenangkan hati Aa’. Dimata Aa’, Lilis hanyalah istri yang tak berguna!”

“Mengapa Lilis berpikiran seperti itu?” tanyaku heran.

“Mengapa tak meminta Lilis saja yang memijat badan Aa’? Memangnya, pijatan Lis tidak enak?” ucapnya sambil menangis.

“Bukan Aa’ tak percaya sama Lilis. Aa sudah terbiasa dipijat Ibu sedari kecil. Ya sudah! Besok-besok Lilis saja yang memijat Aa,” jawabku merasa bersalah. Lilis pun kembali tersenyum mendengarnya.

Walau harus kuakui, tak ada yang bisa mengalahkan enaknya pijatan Ibu. Tapi aku berusaha untuk menahan diri--untuk tidak memberitahu Lilis yang sebenarnya-- kalau pijatan tangannya, tak senikmat dan sehangat pijatan tangan ibu.

Kisah kecemburuan Lilis tak berhenti sampai disitu. Selalu ada hal-hal kecil yang membangkitkan rasa cemburunya. Misalnya saat aku membelikan adik perempuanku sate ayam di hari libur. Lilis akan cemberut melihatnya. Padahal hal itu sudah aku lakukan sebelum menikah dengannya. Tak pelak, dia pun melontarkan sindiran-sindiran tajam. Atau tatkala aku membelikan hadiah buat adik lelakiku, saat dia meraih rangking pertama disekolahnya. Lilis terang-terangan menunjukkan sikap tak sukanya.

Dilain waktu ketika aku membelikan Ibu sepasang busana muslimah, Lilis terlihat sewot dan mengatakan, “Aa’ tidak adil! Mengapa Lilis tak dibeliin juga?” Akhirnya, aku pun membelikan busana muslimah yang sama buatnya.

Lilis kembali mencemburui sikapku yang begitu perhatian pada Ibu dan ketiga adikku. Padahal dari awal dia sudah tahu posisiku sebagai anak tertua, yang harus tetap menyayangi dan menafkahi keluarga, meskipun sudah menikah.

Mungkinkah sikap manis Lilis dulu pada keluargaku hanyalah basa-basi semata? Demi menarik simpati keluarga besar kami agar dirinya diterima? Akh… tak pantas kau berprasangka buruk pada istrimu. Hanya akan mengotori hatimu saja. Bisik hati nuraniku. Aku pun kembali membuang pikiran jelekku pada Lilis.

Situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan, pikirku. Aku harus mengambil sebuah keputusan yang terbaik. Baik buat Lilis, juga buat Ibu dan adik-adikku. Dengan terpaksa, aku melakukan hal yang sebenarnya tak ingin kulakukan--agar adik-adik dan Ibu tak lagi menjadi korban kecemburuan Lilis. Mungkin hidup berjauhan, akan menjauhkan konflik yang semakin sering terjadi diantara mereka.

“Ibu keberatan kalau kamu keluar dari rumah ini. Selain Ibu tak ingin berjauhan denganmu, siapa yang akan menjaga adik-adikmu? Ibu tak sanggup menanggung beban hidup sendiri semenjak ditinggal Bapakmu,” Ibu berkata sambil tersedu.

“Siapa bilang aku akan menelantarkan Ibu dan adik-adik begitu saja? Aku akan sering kemari Bu, meski kita tak lagi tinggal seatap.”

Ibu akhirnya setuju, walau aku tetap melihat keberatan itu dimatanya. Aku merasa keputusanku ini sudah tepat. Setelah beberapa hari mempertimbangkannya.

Semula dengan mengontrak rumah sendiri aku bisa bernafas lega, tak lagi capek meladeni sifat pencemburu Lilis, istriku. Kenyataannya, sifat pencemburu Lilis tidak hilang juga. Kali ini kecemburuan Lilis pada Ibu dan adik-adikku beralih sementara pada tetangga sebelah rumah kontrakan kami.

“Aa’ lihat enggak? Ros tetangga sebelah rumah kita baru saja membeli televisi yang layarnya datar. Bagus deh A’. Dia bilang, harganya tidak terlalu mahal kok,” ucap Lilis sambil melendot-lendot padaku. Aku sudah bisa menebak isi hati Lilis. Pasti dia ingin aku membelikannya juga. Meski aku sudah pura-pura tidak perduli dengan permintaannya, Lilis tak putus asa untuk terus mendesakku.

“Jadi, kapan Aa’ mau beliin Lis?” pintanya sambil merajuk.

“Iya secepatnya,” jawabku lembut. Aku pun kembali tak berdaya, untuk tidak memenuhi keinginannya. Terpaksa uang tabungan aku ambil sedikit demi sedikit untuk memenuhi rasa cemburunya.

Dilain waktu, Lilis kembali minta dibeliin handphone. “Lis ingin punya handphone yang ada kameranya A’, seperti punya si Ros.”

“Buat apa Lis? Bukankah handphone yang lama sudah cukup?” jawabku sambil menggerutu.

“Kalau Aa’ tidak mau beliin Lis, ya sudah!” ucapnya sambil merengut dan langsung mengunci diri di kamar. Seperti biasanya, Lilis pun menjalankan aksinya-- mogok bicara denganku selama beberapa hari. Terang saja aku tidak tahan didiamkan oleh istri sendiri. Kembali kuturuti kemauannya. Akhirnya, aku kembali menuruti semua kemauan Lilis yang dilandasi rasa cemburu yang membabi buta itu.

Kecemburuan Lilis untuk memiliki barang-barang seperti milik tetangga terus berlanjut. Aku dibuat lelah lahir dan batin dibuatnya. Mungkin benar kata Ibu, kalau badanku semakin hari semakin kurus seperti orang yang banyak pikiran. Sebetulnya, aku ingin berterus terang pada Ibu bahwa aku sering makan hati dengan tingkah laku Lilis. Tapi, aku berusaha berdalih karena kelelahan bekerja. Sebab aku tak ingin menambah beban pikiran Ibu.

Sementara uang yang aku gunakan untuk membeli semua barang permintaan Lilis adalah uang yang aku tabung untuk membetulkan rumah Ibu yang sudah rusak disana-sini. Aku berniat mengganti genteng yang bocor dengan asbes. Belum lagi bila hujan datang, Ibu dan adik-adikku harus tidur diruang tamu karena kamarnya basah.

Tak hanya mengganti genteng yang lama dengan yang baru. Kamar mandi juga sudah tak layak lagi untuk dipakai. Karena sudah tumbuh lumut disana sini. Aku berniat melapisi dindingnya dengan keramik. Dapur Ibu juga sudah jelek. Aku berniat akan membuatkan tungku yang baru untuk Ibu memasak.

Untuk menebus rasa bersalahku pada Ibu, akupun lebih giat lagi mencari uang, dengan mencari kerja sampingan. Setelah satu tahun uang pun terkumpul. Akupun mencatat berapa pengeluaran untuk merenovasi rumah Ibu. Setelah kurasa cukup, akupun segera memberitahu Ibu berita yang sangat ia nantikan ini. Ibu menitikkan air mata bahagia, saat tahu impiannya akan segera terwujud. Untuk memiliki rumah yang lebih layak bagi dirinya dan anak-anaknya.

Disaat Ibu tengah diliputi perasaan bahagia, tak begitu halnya dengan Lilis. Dia sedikitpun tak menunjukkan rasa senang, saat kuceritakan tentang niatku untuk mempercantik rumah Ibu.

“Harusnya Aa’ tahu, sebentar lagi kita akan memiliki seorang anak. Kebutuhan bayi kan banyak sekali!” ucapnya ketus.

“Tapi Aa’ sudah lama punya janji pada Ibu. Gak enak kalau harus menunda lagi. Aa’ rasa, gaji bulanan Aa’ masih cukup untuk membeli keperluan kamu dan anak kita, disaat melahirkan nanti,” jawabku agak jengkel. Tega-teganya Lilis mempermasalahkan yang sudah menjadi hak Ibu.

Aku tahu, pasti Lilis marah sekali padaku, karena aku tak mau mengikuti keinginannya kali ini. Tapi aku tak perduli lagi. Bagiku, ini sudah kewajiban seorang anak lelaki pada Ibunya. Apapun komentar Lilis, aku tak akan menggubrisnya.

Namun yang terjadi sungguh tak kuduga sebelumnya. Mulanya Lilis menangis seharian. Aku berusaha tak perduli! Karena aku tahu Lilis pintar bermain sandiwara. Besok-besoknya, dia berubah menjadi pendiam. Aku tak berminat menanyakannya, karena aku sudah jenuh dengan segala taktik yang dia mainkan selama ini. Namun saat dia sering berbicara sendiri, aku tidak bisa tinggal diam. Bagaimanapun, dia tetap istriku. Apapun bentuk kesalahannya. Apalagi dia tengah mengandung anakku. Aku pun kembali bersikap lembut padanya. Dan mencoba mengorek isi hatinya, mengapa akhir-akhir ini dia bertingkah seperti orang yang kurang waras. Tapi Lilis malah menjerit histeris. Tanpa menunggu lagi, akupun membawanya berobat ke psikiater.

“Tampaknya istri anda mengalami depresi yang cukup berat.”

“Akhir-akhir ini istri saya sering diliputi rasa cemburu. Mungkin rasa cemburu butanyalah yang telah membuatnya jadi begini, Dok!”

“Maksud Anda apa? Mungkin bisa Anda ceritakan secara lebih mendetail lagi.”

“Kecemburuan istri saya yang sangat besar, telah membutakan mata hatinya, hingga tak bisa melihat kebahagiaan orang lain. Termasuk kebahagiaan Ibu mertuanya sendiri Dok.” Dokter pun akhirnya bisa mengerti, setelah aku bercerita panjang lebar padanya, tentang perasaan cemburu Lilis yang sudah melampaui batas ini.

Sore ini setelah pulang dari rumah sakit, dengan langkah berat aku mengunjungi rumah Ibu untuk memberitahukan sebuah berita yang tidak ingin aku sampaikan. Sebab aku tahu pasti, berita ini akan sangat mengecewakan bagi Ibu dan adik-adikku.

“Karena bolak-balik membawa Lilis berobat ke psikiater, akhirnya uang untuk membangun rumah Ibu terpaksa aku gunakan dulu. Maafkan Asep Bu, karena belum bisa memenuhi harapan Ibu. Tapi Asep berjanji akan tetap memenuhi harapan Ibu suatu hari nanti,”

Dengan berat hati, kusampaikan pada Ibu masalah yang sebenarnya. Ibu mau mengerti meski aku tahu, betapa hancurnya hati Ibu.



dimuat di majalah alia

Selasa, 09 Februari 2010

rumah mande (terpilih menjadi cerpen terbaik bulan nopember annida-online)


Berat hati ini meninggalkan Mande seorang diri di kampung. Kegembiraan yang didapat karena baru saja diterima di Universitas Indonesia, seakan meluap bersama kegelisahan dan kegundahan. Meski Mande begitu senang dia bisa diterima di salah satu Universitas ternama di ibukota. Bagaimana mungkin dia bisa tenang meninggalkan Mande yang sudah tua dan sering sakit-sakitan?

“Sudahlah Mande. Kita jual saja rumah ini. Uang hasil penjualan kita pakai untuk membeli rumah di daerah Depok. Nanti siapa yang akan memperhatikan dan merawat Mande? Uda War dan Uni Upik pasti sangat setuju dengan saranku.”

“Rusli, Rusli. Mentang–mentang Mande sudah tua, bukan berarti Mande tidak bisa mengurus diri sendiri. Mande sudah terbiasa hidup mandiri.”

“Tapi Rusli mencemaskan Mande. Begitu juga Uda War dan Uni Upik”

“Sekarang yang penting, persiapkan semua keperluanmu untuk dibawa besok. Jangan sampai ada yang ketinggalan.”

“Rusli memilih kuliah di Padang saja ya Mande, agar bisa sering pulang untuk menjenguk Mande.”

“Kamu itu anak lelaki Rusli. Masak tidak bangga pergi merantau. Kita harus bangga bahwa anak negeri kita tersebar dimana-mana. Tapi kamu malah memilih tetap di Padang. Apa kamu tidak malu sama pemuda-pemuda Pariaman yang sukses dinegeri orang?”

Aku tak bisa berkutik mendengar jawaban cerdas dari Mande. Mande memang wanita yang keras kepala, selain tangguh dan mandiri. Meski terbersit rasa iba dihati melihat kondisi kesehatan Mande yang kian hari semakin menurun. Tapi sebagai anak yang berbakti, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tak ingin menentang Mande. Itu sama saja aku mengecewakan hati Mande yang tengah berbangga hati mendapati anak bungsunya berhasil diterima di sekolah negeri bergengsi. Mengalahkan banyak pesaing lainnya untuk bisa lolos masuk kesana.

Aku mengerti bahwa Mande bukan tak ingin tinggal bersamaku di Jakarta. Hanya saja, dia begitu berat bila harus disuruh menjual rumahnya. Rumah yang bagi Mande penuh kenangan manis bersama Abak. Rumah yang telah menjadi saksi selama bertahun-tahun akan asam manisnya hidup Mande bersama Abak. Dan Mande selalu mengulang-ngulang dengan bangga cerita tentang perjuangan Abak, merintis rumah makan padang dari bawah hingga mencapai puncak kejayaannya.

Abak benar-benar seorang pekerja keras, sama seperti Mandenya. Awalnya menjadi pelayan restoran padang. Lalu diangkat menjadi kasir. Setelah bertahun-tahun, oleh pemilik restoran Abak dipercaya untuk membuka cabang di lokasi yang lain. Hingga Abak bisa melakukan penjualan yang fantastis. Restoran tak pernah sepi setiap harinya dari pembeli. Itu semua berkat kepintaran Mande dalam meracik bumbu masakan. Juga berkat keramahan dan kerja keras Abak dalam mencari pelanggan. Cabang restoran itu pun akhirnya dipegang sepenuhnya oleh Abak. Namun disaat usaha rumah makan Abak sedang berada di puncak, musibah pun datang. Restoran Abak terbakar habis. Sejak itu, Abak sering sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal dunia.

Sepeninggal Abak, Mande berjuang sekuat tenaga untuk membesarkan keliga anaknya seorang diri. Meski sudah tak memiliki apa-apa, Mande tak ingin menjual rumah. Dia hanya menggadaikan sedikit perhiasan yang masih ia punya untuk modal membuka warung nasi kapau, meski hanya kecil-kecilan. Hingga warung tersebut bertambah maju dan besar. Mande akhirnya bisa menyekolahkan kami hingga menjadi sarjana.

Kini Mande semakin tua dan sakit-sakitan. Seperti rumah yang Mande tempati, semakin tua dan banyak kerusakan disana-sini. Tapi Mande tetap tak mau rumahnya direhab menjadi lebih bagus dan layak, apalagi sampai dijual. Padahal bangunan nya sudah tua, hingga semakin lapuk dan dindingnya semakin kusam warnanya. Bahkan Mande pun tak ingin mengganti lantainya yang sudah retak dan pecah-pecah dengan keramik yang baru.

“Mande tidak mau mengubah apapun dari banguanan rumah ini. Biarlah semuanya seperti dulu saja. Sebab Mande tak ingin sedikitpun kenangan dirumah ini ikut hilang bersama dengan perubahan disana-sini,” jawab Mande saat Uni Upik berniat ingin merenovasi rumahnya.

“Tapi Mande, lama-lama rumah ini bisa hancur bila tak diperbaiki, karena sudah tua hingga tak sekokoh dulu lagi. Mande tidak inginkan rumah ini perlahan-lahan habis tergerus dimakan usia? jawab Uda War ikut bicara.

“Mande rasa rumah peninggalan Abak kalian masih cukup kuat. Buktinya, sudah 40 tahun lebih masih bisa kita tempati.”

Kami pun tak bisa menentang Mande yang tetap pada pendiriannya. Apalagi untuk menjual rumahnya. Alasannya Mande tak ingin meninggalkan Abak dan kenangannya disini. Kalau bisa, dia ingin mati dirumah ini. Padahal niat kami hanya ingin mengurus Mande. Tidak seperti sekarang, Mande di Pariaman sendirian. Tepatnya di kampung dalam. Sementara anak-anaknya semua di kota metropolitan.

Hari ini kuliah selesai sampai sore. Tapi selama perkuliahan berlangsung pikiranku gelisah. Materi yang diajarkan begitu sulit masuk ke otakku. Memang belakangan ini aku sering bermimpi tentang Abak. Yang membuatku jadi teringat pada Mande di kampung dalam Pariaman. Abak datang dan hanya tersenyum padaku. Tanpa berucap sepatah katapun. Tak berapa lama kemudian Abak menjemput Mande. Dan Mande mengikuti Abak pergi. Aku berteriak-teriak memanggil, tapi kedua orangtuaku seolah tak mendengar teriakanku. Dan pergi berlalu begitu saja dibalik awan. Pertanda apakah ini? Tak sabar rasanya menunggu kuliah bubar, agar segera bisa menelepon Mande.

“Sebelum Bapak mengakhiri kuliah hari ini, ada yang mau bertanya?” Kulihat tak ada satupun yang mengangkat tangan. Aku lega. Berarti sebentar lagi kuliah usai.

“Baiklah! kuliah hari ini Bapak cukupkan sampai disini.” Anak-anak pun segera menyambut senang. Sama sepertiku, segera bersiap-siap untuk keluar dari kelas dengan tergesa. Mungkin karena hari sudah beranjak sore. Akupun berlomba dengan anak yang lain untuk segera sampai di pintu gerbang kampus.

Begitu sampai di kamar kost segera kubuka tasku, dan mengambil ponsel Nokia berwarna biru. Tut..tut..tut. tak nyambung. Kupencet sekali lagi, tetap terdengar bunyi yang sama. Aku makin kacau. Mengapa saluran ke Padang tiba-tiba sinyalnya terputus? Aku pun meletakkkan hpku dan segera mengambil segelas air mineral, dan meneguknya sampai dahagaku hilang. Aku kembali ke sisi tempat tidurku, lalu meraih remote untuk menyalakan televisi. Aku pun sibuk memencet channel secara berganti-ganti. Sambil bermalas-malasan sejenak di atas springbedku.

Kuputuskan untuk menonton acara berita sore. Sambil menonton berita, kucoba kembali untuk menelepon Mande. Siapa tahu bisa kembali tersambung. Tiba-tiba kudengar reporter televisi menyiarkan berita tentang gempa. Yang membuatku kalut setengah mati, gempa dahsyat berkekuatan 7,6 SR itu mengguncang Padang Pariaman! Dan… kampung tempat kelahiranku yang terparah, sampai-sampai banyak rumah yang sudah rata dengan tanah

Ya Rabbi! Pikiranku langsung tertuju pada Mande. Bagaimana ini? Ingin aku segera pulang sekarang untuk memastikan keadaan Mande secara langsung. Aku tak mampu berpikir lagi. Bingung harus melakukan apa. Telepon tetap belum bisa tersambung. Ditengah kecemasanku, segera kuputuskan untuk menelepon Uni Upik

“Sudahlah Rusli, gak usah terlalu cemas begitu. Kita doakan saja tak terjadi apa-apa pada Mande.Uni akan menghubungi Udamu dulu. nanti akan Uni kabari lagi.”

“Baiklah Ni, kabari Rusli bila ada perkembangan,” jawabku panik.

Seharian aku gelisah di kostku. Menunggu kabar selanjutnya dari Uni. Tapi belum ada berita apapun yang melegakanku. Selepas maghrib akhirnya Uda War datang ke kostnya bersama Uni Upik. Membicarakan apa rencana kami selanjutnya. Uni Upik Dan Uda War menyuruhku pulang lebih dulu. Dimana setelah urusan mereka kelar, barulah Uni dan Udanya menyusul ke kampung dalam segera.

Menjelang malam hari mataku sulit terpejam. Bahkan disaat jarum jam sudah menunjuk pukul tiga tengah malam. Aku bangun dan segera meminum segelas air mineral untuk menenangkan pikiranku. Besok aku akan bolos kuliah untuk bertolak ke Pariaman. Bagaimana mungkin aku hanya menunggu saja disini tanpa ada kepastian tentang keadaan Mande. Bagaimana kalau rumah Mande turut hancur ditimpa longsor akibat gempa yang mengguncang dengan sangat kencang? Kira-kira dimana Mande waktu terjadi gempa? Apakah sempat lari keluar rumah menyelamatkan diri? Atau sebaliknya? Tidak! Aku tak kuat membayangkan seandainya Mande terkurung reruntuhan rumah dan…aku semakin takut membayangkannya.

Aku terbayang wajah Mande saat melepaskanku di Bandara. Belum pernah Mande memelukku berulang-ulang kali dengan erat. Seakan–akan begitu berat melepas diriku. Adakah itu pertanda pertemuan terakhir kami? Tidak! Aku tidak boleh berpikiran buruk pada nasib Mande. Bagaimanapun, takdir di tangan Allah. Aku tidak pantas mendahului takdir. Untuk menenangkan hatiku, aku terus berdoa tak henti-hentinya, sambil memejamkan kedua mataku.

“Baik-baik kamu dirantau ya Nak, dan jangan pernah meninggalkan solat lima waktu,” pesan Mande sambil berurai air mata.

“Pasti Mande,” jawabku membalas pelukan Mande.

Mengingat itu, Rusli pun sesengggukan diatas tempat tidurnya. Dan semakin tak sabar menunggu datangnya pagi. Akhirnya, pagi yang ditunggu segera tiba. Rusli segera mandi dan setelah itu memasukkan baju ke tas ransel secukupnya. Dia memutuskan untuk naik bis saja, sebab pesawat belum ada yang terbang ke Padang karena berbagai alasan. Begitu sampai di terminal Rawamangun, dia segera menaiki bis jurusan Padang pariaman. Dan membayar tiketnya di dalam bis. Bis tak langsung berangkat, karena masih menunggu penumpang. Dia semakin tak tenang dan sedikit kesal. Tapi dia harus bisa bersabar. Yang penting lusa dia sudah sampai di kampungnya.

Begitu sampai di kampungnya, dia temukan sudah banyak orang-orang yang tinggal dipengungsian akibat rumahnya hancur, meski ada sebagian rumahnya cuma retak-retak saja. Hatinya begitu miris melihat banyaknya warga yang terluka parah. Ada yang kepalanya robek. Ada yang kakinya terpaksa diamputasi karena patah tertimpa reruntuhan selama dua hari. Sebagian lagi meraung-rauang karena sanak keluarganya masih tertimbun reruntuhan bangunan. Dia harus bergerak cepat, agar segera tahu bagaimana kondisi Mande dan rumahnya. Ya Tuhan!!! rumah Mande hancur 100%, pekiknya. Dimana Mande? Dia panik sekali, sebab tak seorang pun warga yang mengaku melihat keberadaan Mande.

Dia sudah hampir putus asa, karena tak berhasil menemukan Mande. Dia juga sudah mendatangi posko-posko terdekat, siapa tahu mereka pernah merawat Mande kalau memang Mande terluka. Tapi tak ada juga. Bagaimana ini? Rusli tak mampu berpikir lagi. Tiba-tiba dia teringat pada suatu tempat dimana Mande dulu sering kesana Yah…. siapa tahu Mande kesana, batinnya sedikit tenang. Begitu sampai di lokasi yang ia tuju, dia melihat seorang wanita seusia Mande sedang menangis di depan sebuah makam. Tak salah lagi, itu Mande!

“Habis Rusli…Habiss sudah semuanya! Mande sudah tidak punya tempat tinggal lagi di kampung Mande sendiri,”tangis Mande pun pecah dibahunya

“Sudahlah Mande, tak usah menyesali yang sudah tidak ada. Yang penting Mande masih ada bersama kita,” hiburku sambil memeluk Mande penuh rasa lega dan haru. Medio October 2009



dimuat di annida-online

Senin, 08 Februari 2010

tak cukup bagiku hanya mengerti




*Tuhan Maha Tahu apa yang ada dalam hati hamba-hambanya. Tuhan juga mengerti apa yang diinginkan oleh hamba-hambanya. Namun, Tuhan tetap meminta para hambanya untuk memberitahunya melalui doa.

Suatu pagi ketika Abang akan pergi ke kantor

Masihkah Abang mencintaiku?” tanyaku saat menemani Abang sarapan pukul 6 pagi. Kebetulan ketiga malaikat kecil kami masih terlelap dalam mimpi. Abang sedikit terkejut mendengar pertanyaanku, meski akhirnya tersenyum. “Abang rasa, kamu sudah mengerti tanpa perlu Abang katakan lagi. Bukankah selama ini, Abang pergi pagi pulang malam demi kamu dan anak-anak?” jawab Abang sambil menyuapkan nasi dan sepotong ikan ke mulutnya.

Aku mengerti Bang. Tapi dengan mengerti saja tidaklah cukup bagiku. Aku ingin Abang mengatakannya lewat seuntai kata-kata mesra seperti dulu, meskipun hanya sekali sepanjang usia pernikahan kita. Akh…Sembilan tahun sudah aku menunggu Abang mengatakan kembali Aku mencintaimu istriku.

“Kita bukan lagi sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk cinta seperti dulu Dik. Kamu kan bisa melihat dari sikap Abang selama ini,” jawabAbang lagi

Bibir tipis Abang yang begitu maskulin kembali tersenyum. Tapi kini lebih lebar. Terlihat gigi putihnya yang berderet-deret rapi. Dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus bekas cukuran terlihat begitu seksi.

Aku tahu Abang itu suami dan ayah yang terbaik bagi ketiga mutiara hati kita--Bilqis, Baim, dan Zakirah. Tapi, salahkah bila aku menginginkan Abang mesra seperti dulu? Lagi-lagi aku hanya mampu bertanya di dalam hati. Dan aku masih berusaha untuk tersenyum. Meski dihati masih ada gundah!

“Ya sudah. Abang pergi dulu yah, takut ketinggalan kereta.” Abang lupa lagi mencium keningku. Dan melesat pergi begitu saja mengendarai sepeda motornya menuju stasiun, untuk menitipkan motornya sebelum naik kereta. Satu lagi ritual yang dulu selalu dilakukan Abang diawal-awal pernikahan, tapi kini ia tinggalkan. Dan aku, hanya menatap kepergiannya dengan hati yang nelangsa. Ada rasa kecewa, rindu, juga sedih yang berbaur menjadi satu.

Aku kembali kedapur melanjutkan tugasku. Mencuci piring bekas makan Abang. Aku harus berkejaran dengan waktu, untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang lain. Sebelum ketiga buah hatiku bangun dari tidurnya.

Malam kian larut. Jarum jam tiga puluh menit lagi menunjukkan angka 12 tengah malam. Ketiga buah cinta kita telah terlelap dalam mimpi yang indah sejak 2 jam yang lalu. Sementara aku, masih tetap menunggumu Bang. Lagu When you tell me that you love me’ nya Diana Ross masih setia menemaniku. Bukankah hari ini ulangtahun pernikahan kita? Semoga kali ini kau tak lagi melupakannya seperti tahun-tahun yang lalu.

Kau tahu Bang… Dirumah, seharian aku mengurus ketiga anak kita. Betapa tidak bisa diamnya Baim, anak lelaki kita satu-satunya yang sebentar lagi genapa berusia 5 tahun. Untunglah kakaknya Bilqis sudah bisa disuruh menjaga adiknya. Disaat aku repot mengurusi Zakirah, yang juga sangat aktif merangkak kesana kemari. Mencomot barang apa saja yang ia temui ke dalam mulut. Hingga tak boleh meleng sedikitpun dalam mengawasinya.

Belum lagi pekerjaan rumah tangga yang menanti untuk segera diselesaikan. Mulai dari memasak, mencuci, juga berbenah. Betapa lelahnya istrimu ini Bang. Sebagaimana dirimu yang kutahu juga letih bekerja keras mencari nafkah setiap harinya. Namun, aku berusaha menikmatinya, meski semakin lama aku merasakan hidup kita hanya terdiri dari rutinitas-rutinitas saja. Bukankah kita perlu penyegaran dari kehidupan yang kita jalani sekarang? Misalnya, pergi nonton atau makan diluar berdua. Berdua saja Bang…Harapanku disaat hanya berdua, kau akan mengatakan Aku mencintaimu istriku.

Pikiranku menerawang. Kenangan manis saat bersamamu berkelebat. Kenangan saat pertama kali kau mendekati diriku. Setangkai mawar merah pernah kau persembahkan pada kekasih hatimu ini. Kata-kata sanjungan dan panggilan sayang begitu murah kau keluarkan dari kedua bibirmu. Tapi sekarang? rasanya kau begitu pelit untuk mengatakannya lagi. Hadiah-hadiah yang begitu istimewa (Kukatakan istimewa karena hampir semua yang kau berikan selalu aku sukai, menunjukkan kalau kau begitu paham apa yang menjadi seleraku) begitu royal kau berikan dulu.

Dulu sebelum aku menjadi istrimu, segalanya ingin kau berikan. Mungkin sekarang Abang merasa tak perlu lagi memikat hatiku--dengan setangkai mawar merah dan sepotong coklat merek bergengsi kegemaranku--karena apa yang Abang inginkan sudah didapat. Siapa lagi kalau bukan Riani. Gadis yang sedikit bicara tapi pemalu juga melankolis—yang tiba-tiba akan mencucurkan air mata saat melihat adegan yang mengharukan di film Titanic. Juga senang dengan hal-hal yang berbau romantis. Dan gadis itu adalah aku, yang sekarang mendampingimu hidupmu Bang. Dalam suka maupun duka.

Aku merasa tersanjung sewaktu kau membawakanku setangkai mawar merah saat pendekatan dulu. Tapi sekarang? Tak ada lagi kejutan-kejutan yang mampu mendebarkan hatiku. Meskipun hanya sebuah surprise kecil.

Bagaimanapun, kita telah disatukan oleh takdir dalam sebuah ikatan suci yaitu pernikahan. Dan aku tak ingin menyalahkan takdir, karena terus terang aku bahagia bisa menjadi istrimu. Meskipun sampai detik ini masih terselip sebuah keinginan yang tak pernah tersampaikan padamu karena secuil gengsi dihatiku. Kapan lagi kau bilang I Love U Bang… Yah, semuanya hanya menyesak di dalam dadaku.

Goresan hatiku yang kuketik di layar komputer kuhentikan sejenak saat mendengar suara sepeda motor di depan rumah. Aku bangkit dan melihat dari balik gorden. Benar itu sepeda motor Abang. Akupun bergegas mematikan layar monitor, dan beranjak untuk membukakan pintu.

“Sudah makan Bang?”

“Sudah… Abang hanya ingin tidur sekarang. Rasanya badan Abang capek sekali, karena beberapa hari ini pulang malam terus akibat kerja lembur. Tapi Abang mau mandi dulu. Ambilkan Abang handuk ya Dik,” Abang berkata sambil meraih remote, duduk bersandar dikursi dan menyalakan televisi. Berusaha melepaskan lelah. Akupun segera keruang belakang mengambil handuk biru yang tergantung di jemuran.

Abang langsung kekamar mandi begitu handuk kuberikan. Mengguyur badannya yang penat dengan air. Aku bisa merasakan keletihan Abang. Bagaimana tidak. Pagi-pagi sekali Abang sudah pergi naik kereta. Malam hari juga pulang naik kereta. Padahal, betapa penuh sesaknya orang didalamnya. Abang katakan beberapa hari ini hampir tak pernah ia dapat duduk, karena orang selalu naik dari setiap stasiun. Hingga kereta selalu penuh. Berbau, panas, dan tak nyaman.

Setelah Abang selesai mandi, akupun membiarkannya segera pergi ke peraduan. Dan hanya mampu diam terpekur saat mendengar Abang mendengkur. Niatku untuk mengutarakan segudang rencana dalam merayakan hari ulangtahun pernikahan kami yang kesembilan akhirnya kutunda. Aku tak tega membangunkan Abang. Mungkin besok saja sebelum Abang berangkat kerja. Aku membatin dengan rasa sedikit kecewa.

Malam berikutnya. Aku kembali menunggumu Bang. Jemariku mulai mengetik kata-demi kata, curahan perasaanku yang penuh kecewa, karena Abang kembali melupakan hari penting kami. Aku tak pernah menuntut apa-apa Bang. Tapi setidak-tidaknya dihari ulangtahun pernikahan kita, kau mau menyempatkan sedikit waktumu untuk kita berdua. Meskipun hanya satu kali. Aku membayangkan suasana yang romantis dimana hanya ada kau dan aku. Tentu saja aku berharap disaat kita berdua, kau akan kembali mengatakan Aku mencintaimu istriku. Dengan tatapanmu yang mesra, sambil menggenggam kedua tanganku. Aku ingin merasakan kembali saat-saat kita berdua. Mungkin kita perlu moment dimana tak ada anak-anak diantara kita. Seperti saat bulan madu yang pertama.

Bang…Aku tidak tahu pasti apakah kau tipe pria yang romantis atau tidak. Mungkin dulu kau membawakan seikat mawar merah agar bisa mencuri hatiku. Tapi aku mengerti bahwa sekarang kau masih mencintaiku. Sebatas hanya mengerti, tapi tak begitu yakin karena tak pernah lagi kau bilang I Love U padaku. Tak usahlah aku berharap Abang mau mengatakan itu setiap hari. Tapi sekurang-kurangnya di hari pernikahan kita. Meskipun hanya sekali. Sekali Bang! Itu sudah cukup bagiku.

Tiba-tiba kudengar tangis anak ketigaku yang berusia sembilan bulan dari dalam kamar. Akupun segera menghampirinya, untuk kembali meninabobokan Zakirah sambil menyusuinya. Satu jam kemudian… Aku terbangun dan melihat jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Tanpa sadar, aku tadi tertidur sejenak. Memang sewaktu menyusui tadi mataku rasanya berat sekali. Hingga tak bisa dicegah akupun tertidur.

Sepertinya Abang belum pulang, karena tak kudengar suara sepeda motornya di depan rumah. Aku keluar kamar dan menuju ruang depan untuk mematikan komputer yang masih menyala. Namun sebelum aku mengklik tulisan Turn Off Computer,

Tak usahlah aku berharap Abang mau mengatakan itu setiap hari. Tapi sekurang-kurangnya di hari pernikahan kita. Meskipun hanya sekali. Sekali Bang! Itu sudah cukup bagiku.

Aku mencintaimu istriku. Lebih dari yang kau kira

Ketika aku beranjak dari kursi untuk mencari tahu, tiba-tiba Abang sudah memelukku dari belakang, seraya membisikkan kata-kata yang sudah begitu lama ingin kudengar “I love u.” Akupun berbalik. “I love u too Bang,” jawabku sambil balas memeluknya. Inilah surprise terindah dalam hidupku.

Awal ramadhan 2009

* Dikutip dari ucapan Mario Teguh—dalam acara Golden Way

Sabtu, 06 Februari 2010

hikmah tinggal di desa



Tak selamanya sesuatu yang tidak kita sukai, akan merugikan kita. Bukankah Tuhan pernah berkata, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal dibalik semua itu tersimpan sebuah kebaikan untukmu. Suamiku mencoba menasehatiku disaat aku berkali-kali mengeluhkan tempat tinggal kami yang jauh terpencil.

Awal mula suami memberitahu akan membeli tanah di desa, aku tak setuju. Tapi karena tak ada pilihan aku menurut saja. Kukatakan tak ada pilihan karena keuangan kami memang tak cukup untuk membeli rumah di ibukota. Mau mengambil perumahan suami merasa tidak sreg. Alasannya cicilannya berlangsung cukup lama. Rumah yang didapat juga sangat kecil. Paling runah tipe 36 yang bisa sesuai kantong kita, begitu katanya. Bagiku, biar rumah kecil asal dekat kemana-mana kan tidak masalah? Tapi pikiranku mengenai tempat tinggal berbeda dengan suami. Baginya lebih enak membeli tanah yang cukup luas karena bisa membangun rumah yang cukup besar dibandingkan mengambil perumahan, sebab harga tanah cukup murah di desa. Apalagi kami memiliki anak yang masih kecil-kecil. Rumah yang luas dengan halaman yang lebar akan membuat ruang gerak ketiga buah hati kami cukup lega. Lagipula suami pergi kerja naik kereta. Dan menurutnya untuk sampai kestasiun tidak terlalu jauh. Suami saya memilih naik motor yang menghabiskan waktu 15 menitan. Dimana motornya ia titip di stasiun saat akan naik kereta api ekonomi jurusan jakarta kota.

Setelah rumah selesai dibangun diatas tanah seluas 200 meter, kami pun segera menempatinya. Suami begitu gembira begitu juga anak-anak. Tapi aku tetap tidak suka membayangkan tingggal di desa selamanya. Bandingkan saja. Selama ngontrak di Jakarta aku bisa pergi kemana-mana hanya dengan angkot atau bis yang ongkosnya cuma 2000 perak. Sementara semenjak tinggal di desa aku harus naik ojek ke pasar dengan ongkos 15000 pp. Alhasil, akupun memutuskan untuk pergi belanja sekali seminggu saja mengingat uang transportnya lumayan besar bila pergi setiap hari. Disamping itu aku tak bisa lagi jalan-jalan cuci mata ke mall, sebab tinggal didaerah tak ada supermarket apalagi Mall. Pokoknya kemana-mana serba jauh. Akibatnya aku pun jarang keluar seperti dulu, dan lebih banyak tinggal dirumah saja. Mulanya hari-hari yang kurasakan begitu membosankan. Tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin aku berdebat terus dengan suamiku dan menuntutnya untuk segera pindah ke kota. Bisa-bisa kami bertengkar terus hingga rumah tangga tak lagi harmonis.

Ditengah rasa jenuh karena tidak lagi bisa pergi kemana-mana aku pun menuangkan uneg-unegku dengan menulis. Selain itu waktuku banyak kuhabiskan dengan membaca. Kebetulan aku memang suka membaca dan menulis. Hanya dulu sebatas menulis puisi dan catatan harian.Terbersit ide dikepalaku untuk menulis pengalaman hidupku selama tinggal didesa. Kuceritakan bahwa sebenarnya banyak hal positif yang kudapat selama tinggal di daerah. Pertama udaranya jelas lebih sejuk dan bersih dari daerah perkotaan, tempatku mengontrak dulu. Masih banyaknya pepohonan hijau, membuat lingkungan sekitar tempat tinggal kami begitu sehat ditambah tak banyaknya kendaraan yang lalu lalang hingga bebas dari polusi.

Yang kedua, masyarakatnya hidup sangat sederhana dan ramah-tamah. Bila bertemu selalu menyapa duluan dan suka tersenyum. Kalau dijakarta bor-boro. Yang ada siapa elu siapa gue. Meski tak hampir semuanya begitu. Karena kesederhanaan warganya membuatku jadi tahu hidup prihatin. Tak lagi membuang-buang uang untuk belanja yang tidak perlu seperti dulu, apalagi kalau sudah ke Mall. Padahal awalnya cuma ingin cuci mata. Nyatanya tergoda untuk membeli yang sesungguhnya kurang kuperlukan.

Yang ketiga, semangat kebersamaan warga desa cukup tinggi bila dibandingkan dengan warga kota. Bila ada warga yang terkena musibah, mereka saling membantu dengan memberikan apa saja yang mereka miliki. Bisa beras, makan kering, uang ataupun tenaga. Hingga yang terkena musibah merasa diringankan. Begitu juga bila ada yang keriyaan (red: hajatan) maka hal yang sama juga mereka lakukan.

Semua pengalaman yang kutulis aku kirimkan ke sebuah majalah wanita. Saat dimuat akupun sangat senang sekaligus bersyukur karena bisa membagi pengalamanku dengan banyak orang.

cerita yang sama pernah dimuat di majalah ummi

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut