novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Senin, 01 Februari 2010

Ketika anak mogok sekolah




Pada waktu saya membaca sebuah tabloid wanita, saya tertarik dengan artikelnya yang mengulas tentang Homeschooling. Saya membaca beberapa alasan yang diceritakan oleh beberapa orang anak mengapa mereka memilih sekolah dirumah. Dimana orangtua mereka mendukung anaknya untuk mengikuti sekolah nonformal tersebut.

Cerita anak pertama, bahwa dia tidak mau sekolah karena sudah sering dilecehkan oleh teman-temannya. Mulai dari barang-barangnya yang sering diambil, sering diejek karena posturnya yang gemuk, bahkan sampai ada yang memukulnya. Yang lebih menyakitkan si anak, tatkala teman-temannya sering mengolok-olok kekurangannya yang tidak bisa mendengar. Si anak memang memakai alat bantu pendengaran ke sekolah. Semua perlakuan itu membuat si anak menderita dan merasa tidak tahan lagi, hingga memutuskan enggak mau sekolah lagi.

Cerita anak kedua lain lagi. Dia merasa jenuh karena sekolahnya mulai dari pagi sampai sore. Tapi yang paling membuatnya jenuh karena stress dengan perlakuan gurunya yang tidak menghargainya, bahkan cenderung melecehkannya. Akibatnya dia sering tidak masuk sekolah.

Masalah yang dialami kedua anak diatas merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru dan teman-teman sekolah mereka. Dampak jangka pendek akibat anak mendapakan tindakan kekerasan dalam pendidikan adalah anak tiba-tiba mogok sekolah. Adapun dampak jangka panjangnya menurut Kak Seto psikolog anak, bisa memicu prilaku tawuran pada anak dikemudian hari, juga mengakibatkan depresi pada anak.

Orang tua manapun tentu keberatan bila anak mereka mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi itu. Padahal tujuan mereka menyekolahkan anaknya agar mendapatkan pendidikan dengan baik. Tapi bagaimana mungkin? Bila belum apa-apa mental anak mereka sudah dibuat jatuh oleh sikap guru dan teman-temannya. Si anak akhirnya merasa bahwa kehidupan sekolah tak lagi nyaman, karena telah membuatnya tertekan.

Sebagai orang tua, kita harus jeli melihat masalah yang dihadapi anak disekolah. Dengan membangun komunikasi yang terbuka dengan anak. Sehingga kita tahu apa masalah yang sebenarnya. Tak jarang anak yang tertutup takut untuk menceritakan masalah yang ia hadapi. Orang tualah yang harus memulainya terlebih dahulu. Kalau perlu, kita ajak gurunya bicara baik-baik. Kalau tidak mempan juga, barulah kita ambil tindakan lain yang lebih baik buat anak kita. Apakah anak kita pindahkan sekolahnya, atau alternatif lainnya.

Alangkah baiknya sebagai orang tua, kita melakukan survei terlebih dahulu sebelum memasukkan anak ke sebuah sekolah. Kita tinjau bagaimana karakter guru-gurunya, lingkungan teman-temannya, juga cara mengajar disekolah tersebut. Sebab saya sering melihat banyak sekolah yang kelasnya terdiri dari 50 orang dalam satu ruangan. Tentu saja ini kurang efektif bagi prose belajar mengajar.

Ini pe-er buat semua guru dan pihak sekolah. Bahwa kekerasan bukanlah cara yang efektif untuk mencerdaskan anak didik. Yang mengakibatkan para orang tua semakin tidak percaya pada sekolah formal. Sehingga alternatif sekolah di rumah atau yang di kenal dengan Homeschooling semakin banyak diminati.

Menurut teguh Imanto, kepala subdit pengembangan teknologi direktorat pendidikan kesetaraan dirjen pendidikan nonformal dan informal, Homeschooling awalnya diselenggarakan pemerintah karena adanya siswa yang merasa minatnya tidak terlayani di sekolah formal. Dimana materi pelajaran yang diberikan kepada anak HS sudah disetarakan dengan kurikulum yang diterapkan di sekolah formal. Jadi, bukan tidak mungkin beberapa tahun lagi sekolah-sekolah formal akan sepi murid-murid yang bersekolah, karena orang tua lebih percaya pada alternatif pendidikan lain, salah satunya Homeschooling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut