novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Senin, 08 Februari 2010

tak cukup bagiku hanya mengerti




*Tuhan Maha Tahu apa yang ada dalam hati hamba-hambanya. Tuhan juga mengerti apa yang diinginkan oleh hamba-hambanya. Namun, Tuhan tetap meminta para hambanya untuk memberitahunya melalui doa.

Suatu pagi ketika Abang akan pergi ke kantor

Masihkah Abang mencintaiku?” tanyaku saat menemani Abang sarapan pukul 6 pagi. Kebetulan ketiga malaikat kecil kami masih terlelap dalam mimpi. Abang sedikit terkejut mendengar pertanyaanku, meski akhirnya tersenyum. “Abang rasa, kamu sudah mengerti tanpa perlu Abang katakan lagi. Bukankah selama ini, Abang pergi pagi pulang malam demi kamu dan anak-anak?” jawab Abang sambil menyuapkan nasi dan sepotong ikan ke mulutnya.

Aku mengerti Bang. Tapi dengan mengerti saja tidaklah cukup bagiku. Aku ingin Abang mengatakannya lewat seuntai kata-kata mesra seperti dulu, meskipun hanya sekali sepanjang usia pernikahan kita. Akh…Sembilan tahun sudah aku menunggu Abang mengatakan kembali Aku mencintaimu istriku.

“Kita bukan lagi sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk cinta seperti dulu Dik. Kamu kan bisa melihat dari sikap Abang selama ini,” jawabAbang lagi

Bibir tipis Abang yang begitu maskulin kembali tersenyum. Tapi kini lebih lebar. Terlihat gigi putihnya yang berderet-deret rapi. Dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus bekas cukuran terlihat begitu seksi.

Aku tahu Abang itu suami dan ayah yang terbaik bagi ketiga mutiara hati kita--Bilqis, Baim, dan Zakirah. Tapi, salahkah bila aku menginginkan Abang mesra seperti dulu? Lagi-lagi aku hanya mampu bertanya di dalam hati. Dan aku masih berusaha untuk tersenyum. Meski dihati masih ada gundah!

“Ya sudah. Abang pergi dulu yah, takut ketinggalan kereta.” Abang lupa lagi mencium keningku. Dan melesat pergi begitu saja mengendarai sepeda motornya menuju stasiun, untuk menitipkan motornya sebelum naik kereta. Satu lagi ritual yang dulu selalu dilakukan Abang diawal-awal pernikahan, tapi kini ia tinggalkan. Dan aku, hanya menatap kepergiannya dengan hati yang nelangsa. Ada rasa kecewa, rindu, juga sedih yang berbaur menjadi satu.

Aku kembali kedapur melanjutkan tugasku. Mencuci piring bekas makan Abang. Aku harus berkejaran dengan waktu, untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang lain. Sebelum ketiga buah hatiku bangun dari tidurnya.

Malam kian larut. Jarum jam tiga puluh menit lagi menunjukkan angka 12 tengah malam. Ketiga buah cinta kita telah terlelap dalam mimpi yang indah sejak 2 jam yang lalu. Sementara aku, masih tetap menunggumu Bang. Lagu When you tell me that you love me’ nya Diana Ross masih setia menemaniku. Bukankah hari ini ulangtahun pernikahan kita? Semoga kali ini kau tak lagi melupakannya seperti tahun-tahun yang lalu.

Kau tahu Bang… Dirumah, seharian aku mengurus ketiga anak kita. Betapa tidak bisa diamnya Baim, anak lelaki kita satu-satunya yang sebentar lagi genapa berusia 5 tahun. Untunglah kakaknya Bilqis sudah bisa disuruh menjaga adiknya. Disaat aku repot mengurusi Zakirah, yang juga sangat aktif merangkak kesana kemari. Mencomot barang apa saja yang ia temui ke dalam mulut. Hingga tak boleh meleng sedikitpun dalam mengawasinya.

Belum lagi pekerjaan rumah tangga yang menanti untuk segera diselesaikan. Mulai dari memasak, mencuci, juga berbenah. Betapa lelahnya istrimu ini Bang. Sebagaimana dirimu yang kutahu juga letih bekerja keras mencari nafkah setiap harinya. Namun, aku berusaha menikmatinya, meski semakin lama aku merasakan hidup kita hanya terdiri dari rutinitas-rutinitas saja. Bukankah kita perlu penyegaran dari kehidupan yang kita jalani sekarang? Misalnya, pergi nonton atau makan diluar berdua. Berdua saja Bang…Harapanku disaat hanya berdua, kau akan mengatakan Aku mencintaimu istriku.

Pikiranku menerawang. Kenangan manis saat bersamamu berkelebat. Kenangan saat pertama kali kau mendekati diriku. Setangkai mawar merah pernah kau persembahkan pada kekasih hatimu ini. Kata-kata sanjungan dan panggilan sayang begitu murah kau keluarkan dari kedua bibirmu. Tapi sekarang? rasanya kau begitu pelit untuk mengatakannya lagi. Hadiah-hadiah yang begitu istimewa (Kukatakan istimewa karena hampir semua yang kau berikan selalu aku sukai, menunjukkan kalau kau begitu paham apa yang menjadi seleraku) begitu royal kau berikan dulu.

Dulu sebelum aku menjadi istrimu, segalanya ingin kau berikan. Mungkin sekarang Abang merasa tak perlu lagi memikat hatiku--dengan setangkai mawar merah dan sepotong coklat merek bergengsi kegemaranku--karena apa yang Abang inginkan sudah didapat. Siapa lagi kalau bukan Riani. Gadis yang sedikit bicara tapi pemalu juga melankolis—yang tiba-tiba akan mencucurkan air mata saat melihat adegan yang mengharukan di film Titanic. Juga senang dengan hal-hal yang berbau romantis. Dan gadis itu adalah aku, yang sekarang mendampingimu hidupmu Bang. Dalam suka maupun duka.

Aku merasa tersanjung sewaktu kau membawakanku setangkai mawar merah saat pendekatan dulu. Tapi sekarang? Tak ada lagi kejutan-kejutan yang mampu mendebarkan hatiku. Meskipun hanya sebuah surprise kecil.

Bagaimanapun, kita telah disatukan oleh takdir dalam sebuah ikatan suci yaitu pernikahan. Dan aku tak ingin menyalahkan takdir, karena terus terang aku bahagia bisa menjadi istrimu. Meskipun sampai detik ini masih terselip sebuah keinginan yang tak pernah tersampaikan padamu karena secuil gengsi dihatiku. Kapan lagi kau bilang I Love U Bang… Yah, semuanya hanya menyesak di dalam dadaku.

Goresan hatiku yang kuketik di layar komputer kuhentikan sejenak saat mendengar suara sepeda motor di depan rumah. Aku bangkit dan melihat dari balik gorden. Benar itu sepeda motor Abang. Akupun bergegas mematikan layar monitor, dan beranjak untuk membukakan pintu.

“Sudah makan Bang?”

“Sudah… Abang hanya ingin tidur sekarang. Rasanya badan Abang capek sekali, karena beberapa hari ini pulang malam terus akibat kerja lembur. Tapi Abang mau mandi dulu. Ambilkan Abang handuk ya Dik,” Abang berkata sambil meraih remote, duduk bersandar dikursi dan menyalakan televisi. Berusaha melepaskan lelah. Akupun segera keruang belakang mengambil handuk biru yang tergantung di jemuran.

Abang langsung kekamar mandi begitu handuk kuberikan. Mengguyur badannya yang penat dengan air. Aku bisa merasakan keletihan Abang. Bagaimana tidak. Pagi-pagi sekali Abang sudah pergi naik kereta. Malam hari juga pulang naik kereta. Padahal, betapa penuh sesaknya orang didalamnya. Abang katakan beberapa hari ini hampir tak pernah ia dapat duduk, karena orang selalu naik dari setiap stasiun. Hingga kereta selalu penuh. Berbau, panas, dan tak nyaman.

Setelah Abang selesai mandi, akupun membiarkannya segera pergi ke peraduan. Dan hanya mampu diam terpekur saat mendengar Abang mendengkur. Niatku untuk mengutarakan segudang rencana dalam merayakan hari ulangtahun pernikahan kami yang kesembilan akhirnya kutunda. Aku tak tega membangunkan Abang. Mungkin besok saja sebelum Abang berangkat kerja. Aku membatin dengan rasa sedikit kecewa.

Malam berikutnya. Aku kembali menunggumu Bang. Jemariku mulai mengetik kata-demi kata, curahan perasaanku yang penuh kecewa, karena Abang kembali melupakan hari penting kami. Aku tak pernah menuntut apa-apa Bang. Tapi setidak-tidaknya dihari ulangtahun pernikahan kita, kau mau menyempatkan sedikit waktumu untuk kita berdua. Meskipun hanya satu kali. Aku membayangkan suasana yang romantis dimana hanya ada kau dan aku. Tentu saja aku berharap disaat kita berdua, kau akan kembali mengatakan Aku mencintaimu istriku. Dengan tatapanmu yang mesra, sambil menggenggam kedua tanganku. Aku ingin merasakan kembali saat-saat kita berdua. Mungkin kita perlu moment dimana tak ada anak-anak diantara kita. Seperti saat bulan madu yang pertama.

Bang…Aku tidak tahu pasti apakah kau tipe pria yang romantis atau tidak. Mungkin dulu kau membawakan seikat mawar merah agar bisa mencuri hatiku. Tapi aku mengerti bahwa sekarang kau masih mencintaiku. Sebatas hanya mengerti, tapi tak begitu yakin karena tak pernah lagi kau bilang I Love U padaku. Tak usahlah aku berharap Abang mau mengatakan itu setiap hari. Tapi sekurang-kurangnya di hari pernikahan kita. Meskipun hanya sekali. Sekali Bang! Itu sudah cukup bagiku.

Tiba-tiba kudengar tangis anak ketigaku yang berusia sembilan bulan dari dalam kamar. Akupun segera menghampirinya, untuk kembali meninabobokan Zakirah sambil menyusuinya. Satu jam kemudian… Aku terbangun dan melihat jarum jam menunjukkan pukul 12 malam. Tanpa sadar, aku tadi tertidur sejenak. Memang sewaktu menyusui tadi mataku rasanya berat sekali. Hingga tak bisa dicegah akupun tertidur.

Sepertinya Abang belum pulang, karena tak kudengar suara sepeda motornya di depan rumah. Aku keluar kamar dan menuju ruang depan untuk mematikan komputer yang masih menyala. Namun sebelum aku mengklik tulisan Turn Off Computer,

Tak usahlah aku berharap Abang mau mengatakan itu setiap hari. Tapi sekurang-kurangnya di hari pernikahan kita. Meskipun hanya sekali. Sekali Bang! Itu sudah cukup bagiku.

Aku mencintaimu istriku. Lebih dari yang kau kira

Ketika aku beranjak dari kursi untuk mencari tahu, tiba-tiba Abang sudah memelukku dari belakang, seraya membisikkan kata-kata yang sudah begitu lama ingin kudengar “I love u.” Akupun berbalik. “I love u too Bang,” jawabku sambil balas memeluknya. Inilah surprise terindah dalam hidupku.

Awal ramadhan 2009

* Dikutip dari ucapan Mario Teguh—dalam acara Golden Way

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut