novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Selasa, 05 November 2013

Indahnya Kesetiaanmu



Aku masih diam tergugu di sudut kamar, sembari memandang wajahmu yang tertidur pulas. Sebaliknya, mataku sulit terpejam. Di tengah rasa bersalah ini, aku kembali teringat  ucapan lembutmu waktu itu. Ucapan yang membuat hatiku tersentuh. 

“Sayang... kamu harus tahu, aku tak kan pernah meninggalkanmu,” janjimu padaku. "Meskipun usia tua akan merenggut kecantikan dan kemudaanmu. Aku tak peduli!  Aku hanya ingin kau bersumpah untuk tak menduakan cintaku sampai mati,” pintamu lagi.

Ah, suamiku... pantaskah semua ucapan itu buatku? Sepantasnya yang mendampingimu adalah wanita yang sama putih hatinya seperti dirimu. Hatiku menangis dan begitu teriris. Sungguh aku malu untuk menjawabnya, suamiku. Karena kenyataan yang sebenarnya, aku tak sesetia dirimu!

Setahun yang lalu, ujian kesetiaan itu menguji imanku. Seseorang yang tadinya hanya berstatus sebagai sahabat di dunia maya, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang kurindukan bak kekasih. Yah, diam-diam, aku telah menaruh hati padanya. Itu artinya, aku telah menduakan cintamu dengan mencintai yang lain. Meskipun hubungan kami tak pernah terealisasi di dunia nyata. Kami hanya saling bertutur sapa mesra lewat situs pertemanan. Tak lebih! Tapi aku tahu, hati kami telah saling terpaut. Mengapa semua ini bisa terjadi? aku juga tak tahu pasti. Yang aku tahu, sedikitpun tak ada niat atau rencana untuk mengkhianatimu dan jatuh cinta lagi pada orang lain selain dirimu.

Ah, mungkin kesamaan minat dan hobi kami yang sama di dunia menulis, membuat kami menjadi semakin akrab dan nyambung dalam berkomunikasi. Hingga yang tadinya hanya saling bertegur sapa sebagai seorang sahabat, meningkat ke arah yang lebih intim. Oh, Tuhan... betapa jahatnya diri ini yang telah tega mengotori kesetian lelakiku. Suami yang selalu setia padaku.

Dan keakraban itu kian berlanjut manakala lelakiku semakin disibukkan dengan dunianya. Bekerja dan terus bekerja tanpa lelah. Seolah tak ada waktu untuk sekadar berduaan bersamaku seperti dulu. Bahkan mungkin waktu 24 jam baginya masih kurang. Di saat itulah tiba-tiba hati ini merasa ada luang yang kosong. Dan luang yang kosong itu pun terisi oleh lelaki itu. Salah siapakah ini semua? Jujur, aku tak tak ingin menyalahkan lelakiku. Dia bekerja membanting tulang sejatinya untuk kami, istri dan anak-anaknya. Meskipun dia lupa bahwa kami juga butuh perhatian dan kemesraan darinya seperti dulu. Yang kian berkurang karena tak lagi ada waktu tersisa selain hanya untuk kerja dan kerja. Tapi, ini bukan alasan untuk dirimu mengkhianatinya, bukan? Protes suara hatiku. 

Baiklah, aku harus menyudahi semua ini sebelum semuanya berubah menjadi sebuah bencana di pernikahan kami. Demi suami dan anak-anakku tercinta. Namun ternyata semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Meski akhirnya kami saling menjaga jarak, tapi godaan untuk terus menyapa dan mencari tahu tentang dirinya lewat dunia maya tak bisa ditahan. Dan, terjadilah hal menakutkan yang tak ingin kuharapkan terjadi. Bagaimanapun ditutupi, sebuah kebohongan pasti akan diketahui juga. 

Lelakiku akhirnya tahu semuanya. Di saat aku tengah berjuang untuk bisa melupakannya. Dan kemudian apa yang terjadi. Suamimu marah besar? Pasti tanya itu hinggap di kepalamu, bukan? Tentu saja. Siapa sih yang tak sakit hati diduakan oleh orang yang selama ini sangat ia sayangi dan cintai? Apalagi selama ini dia sudah berusaha untuk setia setengah mati. Di saat inilah episode terberat dalam hidupku. Dia yang dulu mesra dan baik hati berubah menjadi kasar, pemarah dan dingin. Meskipun aku telah bersimpuh di kakinya memohon maaf, namun luka itu masih baru dan belum kering. Wajar kalau dia belum bisa menerimaku lagi. 

Ah, suamiku... Diriku tafakur di liang perih kala kutanam liang luka itu di hatimu. Hingga takut menggerayangiku membelai cemas hati ringkihku. Namun aku tak pernah menyerah untuk melukis harap di kanvas angin. Terus berburu kerelaanmu untuk kembali mendekapku. Hanya pankin pilu menemaniku. Berbilik rindu hingga kristal bening terus bergelayut di pelupuk air mata. Kumohon, suamiku... jangan biarkan airmata perih ini menakung. Karena ku tak sanggup menadah kehilangan. Anugerah cintamu yang sesejuk embun. Yang terus menitik di daun angan

Hari berganti begitu cepat. Tanpa bisa kutolak, aku pun mengalami penurunan semangat hidup yang begitu drastis. Tak lagi menaruh minat pada kegiatan apapun termasuk untuk menulis, padahal sebelummnya ini merupakan passionku. Makan pun tak lagi menselerakanku. Seharian perutku kubiarkan kosong tanpa secuil makananpun. Begitu seterusnya selama-berhari-hari. Yang ada, aku hanya tidur seharian. Lelakiku yang tadinya masih marah padaku, akhirnya menangis melihat kondisiku. Sambil menangis dan meminta maaf, dia memelukku erat. 

“Sayang... kamu adalah separuh aku. Bagaimana mungkin aku sanggup membiarkanmu seperti ini?” isaknya penuh penyesalan. Dia pun segera membawaku berobat ke psikiater. Oleh dokter, diriku didiagnosa mengalami depresi berat! Karena ada indikasi untuk mengakhiri hidup. 

Setelah melewati rangkaian pengobatan, baik lewat psikiater dan seorang ustad, akhirnya perlahan-lahan kondisiku mulai pulih. Kami pun kembali membuka lembaran baru dalam hubungan pasutri. Suamiku juga menyadari bahwa dia turut andil membuatku seperti ini. Sebagai gantinya, dia tak lagi sibuk bekerja seperti dulu dan mau meluangkan waktu untuk kebersamaan kami seperti nonton dan makan di luar berdua. Ucapan-ucapan mesranya padaku pun semakin bertambah padaku

Dari kisah seorang istri yang curhat padaku


translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut