novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Rabu, 10 Maret 2010

bukan pernikahan cinderella



Akhirnya,

Putri Cinderella menikah dengan Sang Pangeran. Mereka pun hidup berbahagia

untuk selama-lamanya. Ever after… Dia terus bermimpi akan mengalami pernikahan

bak cerita Cinderella. Tapi pertukaran

nasib yang ia alami, membuatnya tak ingin lagi bermimpi.



Pagi menggeliat. Matahari mulai merangkak

perlahan-lahan. Denyut kehidupan pun dimulai. Seperti biasanya, Mas Adrian

masih tertidur pulas. Seakan-akan larut dalam mimpi yang tak berkesudahan. Dia

tak ingin membangunkannya. Akh…kapan suaminya sadar bahwa memilih-milih

pekerjaan, tak akan bisa menyelamatkan hidup mereka, yang semakin hari semakin

terdesak oleh himpitan ekonomi? Padahal perut setiap hari minta diisi. Dia

mendesah pilu.



Dia harus bergegas

untuk pergi ke rumah gedung diujung jalan. Bekerja sebagai pembantu rumah

tangga. Sebelum pergi, dia harus mempersiapkan sarapan dan makan siang dulu

buat suaminya, mengingat dia baru pulang disore hari.



Siapa mengira,

dulunya dia membayar gaji beberapa orang pembantu. Sekarang, dialah yang harus

dibayar. Pertukaran nasib telah menggeser kedudukannya.



Dia

mempercepat langkahnya, takut diomelin lagi oleh majikannya bila datang

kesiangan seperti kemarin.



“Tumben

sepagi ini kamu sudah datang,” seorang wanita pesolek berkata sinis padanya.

Dia hanya bisa tertunduk malu mendengarnya. Haruskah dia memberitahu Nyonya

besar ini? Bahwa dia harus membereskan rumah kontrakannya dulu, juga

mempersiapkan makan suaminya sebelum kesini. Tak ingin mendapat sindiran lebih

tajam lagi, segera dia masuk untuk melakukan tugas rumah seperti biasanya.



Tugasnya

dimulai dari mencuci baju secara manual, karena mesin cucinya rusak sebulan

yang lalu. Tepat awal mula dia bekerja disini. Mengapa majikannya tak mengganti

mesin cucinya yang rusak dengan yang baru? Padahal Nyonya tersebut mampu

membelinya. Meski hatinya penuh tanda tanya, tetap dia mencuci, meski tangannya

perih karena tidak terbiasa terkena detergen. Seperih hidup yang kini ia

jalani.



Dia

harus secepatnya menyelesaikan cucian, sebab masih banyak tugas lain yang

menunggunya. Setelah ini dia harus berbenah. Menyapu, melap setiap perabotan

juga jendela yang kotor, dan mengepel rumah besar berlantai dua ini sendirian.

Lagi-lagi hatinya memberontak. Mengapa rumah sebesar ini hanya mempekerjakan

seorang pembantu? Belum lagi taman yang lumayan luas yang harus ia sapu dan ia

urus.



Setelah

semuanya beres, dia harus menyetrika setumpuk pakaian. Setelah itu, memasak

makan siang untuk kedua anak majikannya. Sore hari dia berbenah lagi. Sebelum

pulang, dia kembali memasak untuk makan malam. Dia pun pulang ke kontrakan

dengan tubuh yang penat tak tertahankan.



Biduk rumah tangga yang ia jalani bersama Mas

Adrian, tak semanis dan tak seindah dulu lagi. Pada awal mereka menikah, Mas

Adrian adalah seorang pangeran baginya. Mapan, berkedudukan, romantis, tampan,

dan masih keturunan darah biru. Menempati rumah megah berlantaikan marmer

mengkilat. Dengan anak tangga yang meliuk-liuk indah hingga ke lantai dua,

kamar tidur mereka.



Perabotan-perabotan

merek bergengsi tertata secara elegan. Springbed empuk berharga puluhan juta,

mengisi kamar tidur mereka. Empat orang pelayan siap melayani mereka setiap

saat. Mulai dari tukang cuci, tukang masak, tukang kebun dan supir pribadi.

Hidup yang ia jalani persis dalam cerita dongeng. Tapi, buat apa mengingat

kemewahan yang sudah tak bisa dimiliki lagi? tanya suara hatinya.



Semenjak

perusahaan keluarga yang dipercayakan pada suaminya jatuh bangkrut, semua

kesenangan itu ikut amblas bersama mimpi-mimpi yang pernah mereka jalani. Kini,

mereka harus bangun menghadapi dunia realita. Lalu, bagaimana dengan Mas Adrian

sendiri? kapankah dia bangun menghadapi hidupnya? Apalagi keluarga besar Mas

Adrian sudah membuang suaminya, karena dianggap telah gagal dalam keluarga.



Sekarang,

mereka menempati kamar kontrakan yang sempit dengan perputaran udara yang tak

sehat, karena harus berhimpitan dengan rumah-rumah petak yang rapat. Udara

panas yang terasa, tak lagi bisa didinginkan dengan AC. Steak, bistik, serta

berbagai menu lezat lainnya, tak mampu lagi terhidangkan. Berganti dengan tempe dan tahu. Bahkan

disaat kepepet, hanya makan nasi berlaukkan garam.



Berlibur

keluar negeri, hanya tinggal kenangan manis yang tak bisa terlupakan.

Fasilitas-fasilitas yang memanjakan, terbang begitu saja. Tak ada lagi mobil

sedan yang bisa mengantarkan mereka ketempat-tempat yang ia dan suaminya

inginkan. Handphone kamera super canggih--televisi 29 inci berflat

datar--lemari pendingin super eksklusif, juga barang elektronik mahal lainnya

sudah tergadaikan. Termasuk istana mewah mereka. Demi melunasi hutang pada bank

dan para investor, juga dengan debt collector, yang selalu menteror dengan

kata-kata yang mengancam, dengan kepala mendidih dipenuhi kemarahan.



Pakaian

yang mereka pakai bisa dihitung dengan jari. Tak lagi tersimpan dilemari kayu

jati berukiran indah. Selain jumlahnya yang tak sebanyak dulu lagi, lemarinya

sendiri sudah tak terbeli semenjak dilelang dengan harga miring. Satu-satunya

harta yang tersisa adalah, kalung

berlian bertuliskan inisial namanya, Nindi Hapsari. Hadiah ulang tahun

pernikahan yang pertama dari suaminya. Akibat mempertahankan kalung inilah, ia

tak gengsi bekerja apa saja, termasuk menjadi pembantu rumah tangga. Agar tak

terjual demi menyelamatkan rasa lapar yang tak pernah mengenal gengsi.



“Sudahlah

Dik, jual saja kalung itu! Mas butuh butuh uang untuk mencari kerja.”



“Tapi

Mas, ini satu-satunya kenangan darimu. Adik tak ingin barang berharga ini ikut

tergadai. Biar sementara ini Adik bekerja saja, agar bisa memenuhi kebutuhan

hidup kita.”



“Ya

sudah kalau begitu, terserah Adik saja.”



Hati

ini rasanya tak siap mendengar jawaban Mas Adrian. Sebenarnya, dia ingin Mas

Adrian mengkhawatirkannya seperti dulu.



“Jangan

Dik, nanti tangan lembutmu menjadi kasar kalau mencuci baju. Biar tukang cuci

saja yang mengerjakannya.” Yah… dulu dirinya diperlakukan bagai seorang putri

oleh suaminya. Segala sesuatunya selalu dilayani. Tapi sekarang? dia bekerja beratpun, Mas

Adrian seperti menutup mata. Bagaimanapun, dia harus tetap survive dengan

hidupnya. Tidak boleh cengeng dan harus kuat, meski belum terbiasa bekerja

berat.



Dia

ingat, bagaimana susah dan malunya mencari pinjaman uang kesana-kemari.

Sedangkan Mas Adrian sendiri lebih betah menunggu panggilan kerja dikantor,

daripada bekerja yang lain. Tapi, dimanakah penghormatan suaminya padanya kini?

Yang tak terusik kala dia harus mempertaruhkan harga diri, untuk berhutang demi

hidup sehari-hari, juga demi memenuhi kebutuhan hidup suaminya. Mulai dari uang

rokok, uang transport, juga uang untuk ngerental ke warnet. Memang, Mas Adrian

lebih betah di warnet seharian daripada bekerja apa saja untuk menutupi biaya

hidupnya yang tak sedikit.



“Mas

harus sering-sering ke warnet Dik. Selain mencari imformasi kerja, Mas harus

mengirimkan surat

lamaran lewat e-mail. Mas yakin, diantara sekian puluh lamaran, pasti ada satu

dua yang keterima.”



dia

hanya mampu diam seribu bahasa, setiap kali mendengar alasaan Mas Adrian.

Padahal, sudah 6 bulan lebih tak jua ada

panggilan. Semoga suaminya bisa diterima bekerja dikantor sesuai keinginannya.



Dia juga tak

ingin selamanya menjadi pembantu rumah tangga. Sebab bila Maminya tahu

pekerjaannya yang sekarang, bisa–bisa Mami menangis dan segera memaksanya

pulang. Padahal apapun yang terjadi, dia tak akan sanggup meninggalkan Mas

Adrian sendiri. Dia akan tetap mendampingi Mas Adrian, dalam keadaan susah

maupun senang. Seperti mimpinya mengenai pernikahan. Tetap hidup langgeng

selamanya. Ever after…





Pagi ini

terlihat lebih bersemangat dari pagi-pagi sebelumnya. Mas Adrian diterima bekerja di salah satu kantor

ternama!



“Dik,

baju Mas kurang licin. Ayo setrika lagi!”



“Iya

Mas,” jawabku dengan senyum cerah.



“Dik,

air hangat untuk Mas mandi sudah dimasak belum?”



“Sudah

ada dikamar mandi Mas,” jawabku lagi masih dalam suasana hati senang.



“Oh,

ya Dik. Kamu sudah pinjam uang untuk transport Mas kan?”



Lagi-lagi

dia mengangguk. Mas Adrian

tersenyum puas mendapati semuanya beres. Untung majikannya mau meminjamkan uang

lagi. Meski setiap bulan gajinya harus dipotong. Tapi tak mengapa. Bukankah

mulai bulan depan, Mas Adrian sudah menerima gaji pertamanya? Batinnya riang.



Setelah

suaminya pamit, dia pun segera melesat ke rumah majikannya di ujung jalan.

Semoga bulan ini terakhir kali dia bekerja sebagai babu. Kalau boleh memilih,

dia ingin bekerja sesuai dengan kemampuannya. Bagaimanapun, ijazah D3 nya masih

bisa diandalkan. Berhubung terdesak sajalah, dia mau melakoni kerja berat

seperti ini. Syukur-syukur Mas Adrian bisa langgeng sampai akhirnya naik

jabatan. Sehingga dia dan suaminya bisa bangkit dari keterpurukan hidup, mseki

tak semewah dulu lagi. Kedepannya, dia sangat ingin memiliki buah hati. Agar

lengkaplah kebahagian hidup mereka.



Dua minggu sudah suaminya bekerja. Sore ini, dia

ingin secepatnya sampai dikontrakan. Tapi, mengapa wajah suaminya tak terlihat

bahagia?



“Mas tak betah

kerja diperintah-perintah seenaknya.”



Alasan itu

keluar dari mulut suaminya, saat dia bertanya mengapa tak mau melanjutkan

kontrak kerjanya? Dia pun kembali

menangis di dalam hati. Sebab nasib baik, belum mau bertukar dengannya. Mas Adrian memutuskan keluar

dari pekerjaannya. Padahal belum satu bulan dia bekerja. Yang lebih menyedihkan lagi, gaji Mas Adrian tak dibayar,

karena suaminya sendiri yang memutuskan untuk keluar.



Pagi ini, dia sudah bersiap-siap untuk pergi.

Dia buka kalung berlian pemberian Mas Adrian. Dengan hati-hati, ditaruhnya

diatas secarik kertas, disebelah Mas Adrian

yang sedang tertiur pulas.



Maafkan Adik Mas. Rasanya, tak ada gunanya

lagi Adik mempertahankan kalung ini. Sepeninggal diriku, Mas bisa menggadaikannya

untuk biaya hidup. Semoga Mas bisa

melihat realita hidup yang sebenarnya. Diapun segera berlalu, tanpa sanggup

menoleh lagi.

dimuat di majalah alia

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut