novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Kamis, 22 September 2011

Teardrop In Heaven Part 2




Suatu hari sepulang bekerja dari restoran, Mande membawa berita yang mengejutkan bagiku dan Mande. Mengejutkan bagiku karena aku benar-benar tak ingin mendengarnya. Sementara bagi Mande berita inilah yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

“Kamu mau kan Layla?” Tanya Mande penuh harap padaku. Mencoba mendengar kepastian itu dari mulutku.
“Bukan aku tidak mau Mande, tapi mengapa secepat ini? jawabku sambil menghapus kristal-kristal putih yang menetes di kedua pipiku.
“Soalnya Bagindo Sulaiman tak ingin berlama-lama menunggu. Kamu harus tahu Layla, bagi seorang duda tanpa seorang istri dalam jangka waktu yang lama sungguhlah berat. Bagindo Sulaiman begitu kesepian.”
“Tapi Layla belum siap Mande,”jawabku masih terisak.

Sepertinya keputusan Mande sudah final. Dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Mande memang seorang ibu yang begitu sayang dan perhatian padaku. Tapi Mande juga seorang ibu yang keras dan tegas dalam mendidik anaknya.
Meski aku tahu tujuan Mande baik dengan menjodohkan aku dengan lelaki pilihannya. Tapi bagaimana dengan rasa cintaku pada Ardy? Benarkah cinta bisa tumbuh di kemudian hari? Diam-diam aku menyusun sebuah rencana. Aku harus membatalkan lamaran ini dengan caraku. Ini menyangkut masa depanku sendiri. Aku tak akan menyerah begitu saja. Meski kutahu setelah ini Mande akan kecewa padaku.

Keesokan harinya. Kumasukkan baju beberapa helai ke dalam tas. Semua perlengkapanku sudah tersimpan rapi di dalamnya. Kuputuskan siang ini untuk kabur dari rumah, mumpung Mande belum pulang dari restoran. Kukuatkan hati untuk pergi. Tak ada lagi yang bisa menahanku di rumah ini. Aku berbuat nekat seperti ini agar Mande tahu bahwa aku serius dengan keputusanku. Aku tak bersedia menerima lamaran Bagindo Sulaiman. Setelah kurasa aman sambil celingak-celinguk ke kiri dan kekanan, akupun keluar dan mengunci rumah dari luar.

Dengan cepat segera kulangkahkan kaki tanpa melihat ke belakang. Aku harus berpacu dengan waktu sebelum ketahuan oleh orang-orang. Dadaku berdegup sangat kencang. Nafasku tak beraturan. Perasaan was-was, panik dan takut berkecamuk dibenakku. Aku harus segera pergi meninggalkan kampung ini dan Mande. Tiba-tiba langkahku terhenti sejenak, saat berpapasan dengan salah seorang tetangga yang rumahnya tak jauh dari rumahku.

“Hendak kemana kau Layla dengan tas sebesar itu?” Tanya Rida heran.
“Oh, aku hendak pergi ke rumah Etek di Padang ,”jawabku gugup
“Tumben Mandemu gak ikut mengantar. Tapi hati-hati yah di jalan,” ucap Rida lagi. Aku pun mencoba bersikap tenang dan menjawab seadanya.
“Makasih ya Rida aku sedang buru-buru nih. Aku duluan yah,” ucapku sedikit panik. Rida semakin heran dengan sikapku. Begitu Rida berlalu dari hadapanku, segera kuambil langkah seribu. Aku tak ingin semua rencana kaburku ini sampai gagal total. Aku harus segera sampai di ujung jalan untuk menyetop angkutan yang akan membawaku ke terminal bukit tinggi. Setengah berlari, kupacu jalanku agar segera sampai.Tiba-tiba seseorang memanggilku lantang dari belakang.

“Layla! Mau kemana kau?”
“Mande….” Desisku lemes. Buyar sudah rencanaku.
“Layla, apa yang kaulakukan? Mengapa kau ingin pergi diam-diam?” Tanya Mande bertubi-tubi setelah jarak kami begitu dekat.
“Maafkan Layla Mande. Layla ingin kabur dari rumah karena… “
“Karena ingin menghindar dari lamaran itu kan? Pulanglah Nak! Kau berhak menentukan hidupmu. Mande tak akan memaksamu lagi. Lebih baik Mande melihatmu tak jadi menikah daripada harus kau tinggalkan Layla,” ucap Mande sambil bersimbah air mata. Aku pun segera memeluk Mande dengan rasa bersalah.

Setelah Mande berterus terang, Bagindo Sulaiman tak jadi datang melamar. Tapi dia tetap datang ke rumah dengan alasan tak ingin putus tali silaturahmi dengan Mande. Lama-lama hatiku jadi simpatik melihat kebaikan Bagindo Sulaiman. Ternyata selama ini sikap baiknya pada kami benar-benar tulus. Tapi apa balasan yang sudah kuberikan? Meski Mande menuruti keinginanku untuk tak jadi menikah. Tapi wajah Mande tak bisa menipuku bahwa sebenarnya ia kecewa dengan keputusanku. Hanya saja Mande tak ingin melihatku sedih dan menderita dengan pernikahan paksa. Dan aku tak sanggup melihat wajah Mande yang tak lagi secerah kemarin.

Mande terlihat lebih murung dari biasanya. Bagaimana ini? apa yang harus kulakukan? Mengapa aku begitu egois? Padahal Mande sudah berusaha keras ingin membuatku bahagia. Pasti Mande memiliki keyakinan yang kuat bahwa Bagindo Sulaiman mampu membahagiakanku. Sebab dia sudah mengenalnya luar dalam. Lewat persahabatan mereka yang harmonis selama ini. Sementara aku hanyalah anak bau kencur. Yang belum banyak pengalaman dalam mengenal orang lain. Buktinya Ardy yang kucintai tak pernah lagi muncul batang hidungnya. Kupikir Ardy tak pernah serius berhubungan denganku.
Aku hanyalah seorang wanita yang tak memiliki apa-apa. Tak memiliki karir dan kesibukan berarti selain mengurus rumah dan bermain-main. Apalagi yang harus kutunggu? Untuk ukuran orang kampung sepertiku menikah adalah pilihan terbaik. Apalagi bila Tuhan telah mendekatkan jodohku. Akhirnya disaat berdua dengan Mande, kuberanikan diri untuk mengatakan isi hatiku yang sebenarnya.

“Mande. Layla bersedia kok, menikah dengan calon pilihan Mande.”
“Maksudmu dengan Bagindo Sulaiman?”
“Iya Mande dengan duda itu. Tapi Layla punya satu permintaan.”
“Apa itu Layla? Katakan saja,”ucap Mande sambil mengusap rambutku.
“Bila setahun setelah menikah Layla tak juga bisa mencintai Bagindo Sulaiman, Layla bolehkan minta cerai?”
“Pernikahan bukanlah lembaga uji coba Layla. Pernikahan sebuah lembaga yang suci dan sakral. Bukan hal main-main.”
“Layla hanya ingin mengetahui apa benar Bagindo Sulaiman jodoh Layla. Itu saja.”
“Baiklah! Nanti akan Mande sampaikan pada Bagindo Sulaiman. Mudah-mudahan dia mau mengerti,” ucap Mande lembut.

Tiba-tiba dadaku yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan. Seolah-olah beban berat itu terangkat dari tubuhku. Aku tak ingin lagi mengeluarkan air mata. Selain air mata dihari pernikahanku nanti. Airmata yang kelak akan membawaku ke surga. Demi baktiku pada Mande yang kucinta. Aku pun segera menutup hatiku pada pria lain termasuk Ardy kekasihku.

Setahun kemudian
Seorang perawat muda masuk kedalam kamarku sambil membawa seorang bayi mungil.
“Dia tampan sekali Layla. Hidungnya bangir sepertimu. Rambutnya ikal dan hitam seperti rambutmu. Namun keningnya lebar seperti suamimu,” Mande berkata dengan wajah sumringah.
“Mungkin anak Ibu haus. Dari tadi menangis terus,” ucap perawat sambil menyerahkan malaikat kecilku. Kuterima dengan dada yang membuncah senang. Dan segera tangis anakku berhenti begitu kususui.

Yah, hari ini tepat tanggal 5 desember aku melahirkan seorang anak lelaki yang tampan. Kulitnya kuning bersih, hidungnya mancung dengan rambut ikal yang indah. Kuberi dia nama Bintang. Kelak dia menjadi bintang yang paling bersinar diantara semua bintang yang kumiliki. Kutatap matanya yang menatap manja kearahku. Begitu indah dan polos. Terpancar kecerdasan dari kedua matanya yang bulat dan hitam.

Kakinya menendang-nendang kuat kearah perutku saat menyusuinya. Dengan lahap, bintang terus menghisap asiku. Seketika kebahagiaan mengalir keseluruh pembuluh nadiku. Membuatku tak dapat menahan tangis haru yang keluar begitu saja saat menatapnya. Airmata syukur dan haru bercampur menjadi satu. Lengkap sudah kebahagiaanku.

Yah, aku memang tak jadi meminta cerai pada Bagindo Sulaiman. Karena cinta itu perlahan-lahan tumbuh dihatiku. Berkat kelembutan dan kesabarannya dalam menghadapiku. Kuputuskan untuk terus mendampinginya hingga akhir hayat menjemput. Sedangkan kelima anak tiriku tak ikut bersama kami. Tapi tinggal bersama sanak saudara Bagindo Sulaiman dikampung.

Alangkah cepatnya waktu berlalu. Tanpa terasa, Bintang sudah berumur lima tahun. Kelincahan dan kecerdasannya tumbuh pesat. Selalu bergerak aktif kesana kemari tanpa mengenal lelah. Energinya seakan tak pernah habis. Aku sering kewalahan menghadapinya. Sejak Bintang mulai bisa berjalan, aku tak boleh meleng sedikitpun. Sebab Bintang senang melompat-lompat dan berlari. Tak sekali dia jatuh dan lututnya berdarah.

Meski bahagia melihat kegesitannya tak urung aku sering cemas menghadapi tingkah lakunya yang tak bisa duduk tenang. Ada saja yang ia kerjakan. Kecerdasannya juga sering membuatku takjub. Bintang dengan cepat menangkap apa saja yang diucapkan oleh orang dewasa. Bagaikan burung beo yang selalu meniru apa pun yang ia dengar. Meski beo tak pernah paham dengan ucapan yang ia tiru. Persis seperti Bintang. Hanya saja keingintahuan Bintang sangat tinggi. Dia selalu bertanya tentang sesuatu. Baik yang ia lihat maupun yang ia dengar.

Tapi dalam keadaan hamil anak kedua seperti sekarang, aku tak bisa lagi mengejar-ngejarnya seperti dulu. Sudah pasti aku kalah cepat dengannya. Terpaksalah aku minta bantuan Mande untuk menjaga Bintang. Mande sangat senang sekali. Dia merasa punya peluang untuk lebih memanjakan Bintang. Bahkan saat makan pun Mande selalu melayani Bintang bak raja. Bayangkan saja, Bintang selalu makan di meja makan lengkap dengan lauk-pauk diatasnya. Akhirnya Bintang jadi terbiasa kalau makan selalu dilayani.

Dia tak mau makan bila belum terhidang lauk yang enak-enak diatas meja terlebih dahulu. Untung Abaknya punya restoran padang yang cukup besar. Jadi kami tidak kewalahan menuruti keinginan Bintang. Yang ingin selalu tersedia rendang saat dia makan. Dan Abaknya bintang mendukung sikap Mande itu. Akh, aku hanya menuruti saja apa yang Mande dan Abaknya lakukan, yang penting Bintang tumbuh sehat dan cerdas. Dengan terpenuhinya gizi Bintang dengan baik dan sempurna. Tubuh Bintang pun semakin montok dan tinggi. Badannya tumbuh lebih besar dari anak seusianya.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut