novel yang diangkat dari kisah nyata
Rabu, 21 September 2011
Teardrop In Heaven Part 1
Aku tak bisa berbuat banyak saat ini. Duda beranak lima itu begitu pintar mengambil hati Mande. Tapi tidak untuk hatiku. Meski kemewahan sekalipun yang ia tawarkan padaku. Bagiku, cinta tak bisa dibeli dengan apapun, apalagi uang dan benda-benda berharga. Tapi aku harus menemuinya demi Mande. Yah, demi Mande yang kusayangi.
Hanya Mande di dunia ini yang aku punya. Sejak Abak meninggalkan diriku sewaktu kecil. Abak sakit-sakitan selama 6 bulan sebelum akhirnya meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Aku menjadi yatim sejak usia dini. Sebuah kenyataan pahit bagi seorang anak wanita sepertiku. Yang sangat memerlukan campur tangan seorang ayah dalam membimbing dan mengasihiku. Kini Mandelah tumpuan hidupku. Tempatku bersandar sedari kecil hingga dewasa. Otomatis bila aku sudah menikah, beban Mande akan berkurang.
Aku tahu, Mande harus bekerja keras disebuah restoran padang sebagai juru masak demi menghidupiku, anak perempuan satu-satunya. Sebab hanya memasaklah yang Mande kuasai. Terutama daging rendang. Dan Mande telah bertahun-tahun bekerja di restoran duda beranak lima sekaligus bosnya itu. Sampai akhirnya perjodohan ini terlaksana. Perjodohan yang lahir dari kekaguman seorang karyawan pada bosnya sendiri.
Mengapa tidak Mande saja yang menikah dengan bosnya itu? Karena usia mereka tak terpaut jauh pikirku. Tapi cinta memilih kepada siapa dia hendak berlabuh. Dan cinta bosnya Mande memilih untuk mencintai wanita yang usianya terpaut 25 tahun dengannya yaitu aku. Akh, aku berada dalam dilema. Dilema antara Mande dan duda beranak lima itu, yang sekarang tengah menungguku di ruang tamu. Dengan setengah hati, aku keluar menemui tamu yang istimewa bagi Mande itu. Kuseret kakiku yang terasa berat untuk melangkah. Harus kulakukan ini semua demi Mande.
“Ini anak padusi ambo satu-satunya Bagindo. Namanya Layla,” Mande berkata dengan senyum teramahnya.
“Ambo udah tahu Aini. Sejak pertama bertemu, ambo udah jatuh hati pada anak padusimu ini,”jawab Bagindo Sulaiman sambil menatap wajahku yang tertunduk malu.
Perasaanku campur aduk. Antara marah, benci, juga malu. Tidak sadarkah mereka? kalau sekarang bukan lagi jaman Siti Nurbaya. Yang masih memaksakan perjodohan dengan seenaknya. Ingin rasanya segera pergi dari pertemuan yang tak kuinginkan ini. Tapi apa daya, aku tak punya keberanian untuk memaki dan mengusir duda beranak lima dihadapanku. Untuk segera angkat kaki dari rumahku. Kalau bisa, tak usah kembali lagi untuk selama-lamanya. Tapi aku tak kuasa melakukan itu demi melihat wajah Mande yang bersinar-sinar.
Aku tahu Mande sudah berusaha untuk mencarikan jodoh yang terbaik buatku. Tak mungkin Mande tega menjerumuskan anaknya sendiri. Tapi mengapa harus dengan duda beranak lima? Meskipun menurut Mande dia lelaki yang tepat untuk menjadi suamiku. Selain taat beribadah, dia juga pekerja keras dan bertanggung jawab.
Kekaguman Mandelah yang membuat Mande nekat menjodohkan anaknya sendiri dengan lelaki yang sudah pernah beristri dan memiliki lima orang anak itu. Tidakkkah Mande berpikir apakah aku siap menjadi ibu dari kelima orang anak tiriku? Padahal usiaku belum genap dua puluh tahun.
“Ambo tidak bisa lama-lama Aini. Masih banyak urusan yang harus ambo selesaikan. Ini ada sedikit oleh-oleh buat Layla. Semoga adinda berkenan,” ucap Bagindo Sulaiman sambil menyodorkan sebuah bungkusan padaku.
“Apakah ini sebuah sogokan Bagindo?” Ambo indak tertarik,” jawabku ketus.
“Layla! Indak boleh ngomong baitu. Bagindo hanya ingin menunjukkan perhatiannya padamu,”Mande mendelik marah kearahku.
“Kamu jangan terlalu keras padanya Aini. Lama-lama Layla akan menerima ambo, meskipun tidak sekarang. Semuanya butuh waktu dan proses. Ambo indak mau Layla merasa terpaksa.”
Aku hanya bisa menahan sabar menghadapi situasi yang serba salah ini. Harusnya aku tak boleh ngomong kasar pada lelaki ini. Bagaimanapun dia tamu dirumahku. Apalagi sikapnya sangat baik padaku dan Mande. Meskipun dia punya maksud tertentu.
“Kalau begitu, Ambo pamit dulu Aini. Assalamualakikum.”
“Waalaikum salam. Terima kasih atas kedatangannya Bagindo,” jawab Mande melepaskan kepergian Bagindo Sulaiman di depan pintu. Aku sendiri langsung masuk ke kamar. Rasanya lega sekali melihat duda itu sudah pulang.
“Layla!” Panggil Mande dari luar kamar.
“Ada apa Mande,”aku segera keluar menemui Mande.
“Manga oleh-oleh dari Bagindo dibiarkan sajo di ruang tamu? Tanya Mande dengan wajah kesal.
“Ambil saja buat Mande. Layla tidak tertarik sedikitpun.”
“Wa-ang benar-benar indak menghargai pemberian orang lain. Ayo ambil! dan buka
bungkusnya. Mande ingin tahu apa isinya,” perintah Mande tegas.
Dengan hati terpaksa, segera kubuka bungkusan dari duda itu di depan Mande.
“Bagus sekali baju ini Layla. Selera Bagindo Sulaiman benar-benar tinggi. Motifnya lagi trend dan warnanya merah cerah. Serasi dengan warna kulitmu yang kuning langsat.”
“Buat Mande sajalah. Layla gak suka dengan warnanya.”
“Jangan begitu Layla. Nanti kalau Bagindo Sulaiman datang lagi, kamu bisa pakai baju ini. Agar dia bisa melihat betapa cantiknya anak padusi Mande.”
“Mande…Mande… Itu sama saja Layla menarik perhatian Bagindo agar semakin suka dengan Layla,” jawabku sambil memasang wajah cemberut.
“Memangnya kenapa kalau Bagindo Sulaiman semakin tertarik padamu Layla? Bukankah itu yang kita harapkan?”
“Tapi Layla tak mengharapkan itu Mande, karena hati Layla sudah terpaut dengan pria lain.”
“Tukang ngantar surat itu maksudmu? Apa yang kamu harapkan dari lelaki tukang pos macam dia?”
“Tapi dia mau menerima Layla apa adanya Mande.”
“Bagindo Sulaiman juga bisa menerima dirimu apa adanya,” ucap Mande tak mau kalah.
“Masalahnya Layla gak cinta dengan bos Mande itu,” jawabku lagi.
“Cinta bisa datang belakangan Layla. Mande juga dulu menikah tanpa cinta. Tapi akhirnya bisa menyayangi Abakmu hingga kau dan Udamu lahir.”
“Layla capek berdebat terus dengan Mande,” jawabku segera masuk ke dalam kamar. Mengunci diri dan kembali merenungi nasib.
Mengapa Tuhan tak bersikap adil padaku? Coba Abak masih hidup, pasti perjodohan ini tak akan terjadi. Aku bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa harus dikejar–kejar usia untuk segera menikah. Mande memang kolot. Baginya anak padusi tidak perlu bersekolah tinggi. Yang penting bisa membahagiakan suami. Padahal aku ingin sekali bersekolah. Apalagi aku senang membaca. Meski sebelah mataku tak lagi berfungsi. Sejak operasi mata yang kujalani tak berhasil. Sementara mata yang sebelahnya agak kabur bila melihat sesuatu. Aku harus memakai kacamata agar bisa melihat.
Aku juga suka menjahit bordir. Sudah banyak jahitan bordir yang kuhasilkan. Buku-buku tentang pola bordir koleksiku lumayan banyak. Tapi sayang, sejak mataku rusak akibat operasi yang gagal, mataku tak kuat lagi untuk menjahit. Paling hanya membaca buku dengan bantuan kacamata. Itupun tak bisa lama-lama membaca. Bisa berakibat pedih dan gatal pada sebelah mataku yang masih berfungsi.
Hari ini Bagindo Sulaiman kembali datang. Seperti biasanya dia selalu membawa oleh-oleh buatku. Kali ini perhiasan emas yang ia berikan. Meski dalam hati aku takjub dan senang mendapati barang sebagus itu. Tapi entah mengapa hatiku tak jua luluh.
“Bagaimana Layla? Apa kamu belum bisa membuka hatimu untuk Bagindo Sulaiman? Tanya Mande ketika duda itu sudah pulang.
“Bagaimana yah Mande, Layla gak mudah jatuh cinta pada seorang pria. Kita lihat nanti sajalah Mande,”jawabku segera berlalu. Mencoba menghindari pertanyaan Mande selanjutnya. Meski kulihat segurat kekecewaan di wajah Mande.
“Bagaimanapun jodoh ditangan Tuhan. Mande pasrah pada ketentuan-Nya. Siapapun yang menjadi suamimu nanti, walau orang itu bukan Bagindo Sulaiman akan Mande terima. Asalkan dia bisa membahagiakanmu Layla.” Ucap Mande pasrah saat beradu mulut soal calon suami padaku beberapa hari yang lalu.
Dalam hati, timbul rasa penyesalan yang dalam. Maafkan aku Mande, yang belum bisa menerima perjodohanmu ini.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan perjodohan ini. Bagindo Sulaiman tidaklah sama dengan datuk maringgih yang memiliki banyak istri karena doyan kawin. Bagindo Sulaiman memilih untuk menikah lagi karena istri-istrinya sudah meninggal dan ada yang sudah diceraikan karena adanya ketidakcocokan. Wajar kalau dia membutuhkan pendamping hidup setelah cukup lama menduda. Tapi mengapa pilihannya jatuh padaku? Tidak pada wanita lain yang usianya tak berbeda jauh dengan Mande.
Tapi siapa yang bisa menyalahkan hadirnya cinta pada diri seorang pria? Mungkinkah ini jodoh? Tidak! Aku akan tetap pada pendirianku untuk menikah dengan lelaki yang usianya tak terpaut jauh dariku. Dan aku telah menemukan lelaki yang tepat yaitu Ardy si tukang pos. Aku harus berterus terang pada Bagindo Sulaiman ketika dia datang nanti. Dengan halus akan kukatakan padanya bahwa aku sama sekali tak tertarik untuk menjadi istri dan ibu dari kelima anaknya. Sebab aku tak bisa membayangkan harus mengasuh lima anak tiri dari suamiku padahal aku sama sekali belum pernah mengasuh anak. Perlu kesiapan mental yang cukup untuk menjalani semua itu. Meski Mande terus menyakinkanku bahwa aku bisa melewatinya setelah menikah nanti. (bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
translasi
meninjau polling pengunjung
!-- Start of StatCounter Code -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar