novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Minggu, 25 September 2011

Teardrop In Heaven 3




Suatu hari sehabis pulang bermain, Bintang merengek-rengek agar dijinkan untuk berjualan es mambo. Terang saja aku heran dengan niatnya itu. Anak sekecil dia kok sudah minta berdagang.

“Sudahlah Layla, turuti saja permintaan Bintang,” jawab Abaknya saat kuceritakan tentang keinginan kuat Bintang.

“Tapi Uda, apa kata orang nanti? Mereka kira kita sengaja mempekerjakan anak sendiri untuk biaya hidup. Padahal hidup kita tidak kekurangankan?” aku berkata sedikit emosi.

“Untuk apa kita lebih memperdulikan orang lain daripada anak sendiri? Mungkin Bintang ingin belajar berdagang. Pastilah darah itu menurun dari aku,” ucap Abaknya bangga.

“Ya syukurlah kalau Uda memang setuju. Besok akan Layla buatkan es mambo untuk dijual oleh Bintang.”

“Gak perlu banyak-banyak Layla. Sekedar untuk membuat anak kita senang aja, karena keinginannya untuk jualan tersalurkan,” ucap suamiku tersenyum senang. Mendapati anak sulungnya memiliki darah berdagang seperti dirinya. Aku yakin, besok akan kulihat wajah senang itu juga di wajah Bintang. Saat tahu aku mengijinkannya jualan es mambo. Ada-ada saja keinginan Bintang. Buat apa juga susah-susah jualan. Padahal dari segi ekonomi Bintang tak pernah kekurangan. Uang jajan Bintang mungkin lebih besar dari untung yang ia dapat dari berjualan. Aku pun tersenyum melihat Bintang yang sedang tertidur pulas. Kuelus-elus rambutnya dengan penuh cinta.

“Bintang, besok kau akan mendapatkan pengalaman yang baru dalam hidupmu.” Aku pun tak dapat memejamkan mata selain menatap wajah Bintang kecilku. Rasanya sulit membayangkan Bintang harus berjualan disaat anak-anak lain sedang bermain-main dengan sepuasnya.
“Asyik…asyik..asyik…Bintang boleh jualan…. Bintang boleh jualan…Mande memang baik,” Bintang berkata sambil melonjak-lonjak kegirangan.
“Tapi jualannya jangan jauh-jauh yah sayang. Dekat-dekat sini aja,” perintahku lembut.
“Kalau ke pasar boleh gak Mande?”
“Ngapain sampe ke pasar Nak. Dekat rumah aja jualannya.”
“Tapi pasar kan dekat dari sini Mande. Boleh yah?” wajah Bintang memohon.
“Baiklah! Akan Mande antar kamu ke pasar. Yuk! Anak manis,” aku segera menggamit tangannya dan menemaninya sampai ke pasar.
“Sudah, Mande pulang aja. Biar Bintang jualan sendiri.”
“Benar Bintang berani sendiri?” tanyaku lagi dengan hati yang penuh was-was.
“Tentu saja Bintang berani Mande. Semua orang dipasar ini Bintang kenal,” jawab Bintang lantang. Aku pun sedikit lega mendengarnya. Benar juga pikirku.

Dulu kan Bintang sering dibawa ke pasar oleh Abaknya untuk melihat restoran. Aku masih ingat betapa orang-orang gemes dan sayang begitu melihat Bintang. Apalagi Bintang mau dengan siapa saja. Akhirnya sebelum pulang, aku titipkan Bintang pada orang-orang di pasar.

“Tenang saja Ni, kami akan mengawasi bintang selama dia berjualan,” jawab salah seorang yang kukenal.
“Makasih ya,” jawabku lega. Sebelum pulang, kuhampiri Bintang yang lagi duduk dipinggir pasar bersama orang-orang yang sudah familiar dengan keluarga kami.
“Bintang, jangan lama-lama jualannya yah Nak. Sebelum makan siang habis gak habis esnya harus sudah pulang,” nasehatku lagi sebelum meninggalkannya.
“Pasti habis es mambonya Mande. Lihat saja nanti,” ucap Bintang dengan semangat empat lima.

Aku benar-benar merasa bangga pada kemauan kuat Bintang. Lalu segera mencium pipinya sebelum pulang. Dari kejauhan kulihat orang-orang mengerubungi anakku. Orang-orang tertawa senang menyaksikan Bintang yang tengah bernyanyi dengan lincahnya.
Siang harinya Bintang kembali kerumah dengan wajah yang berbinar-binar.

“Mande! es mambo Bintang sudah habis nih,” ucapnya girang sambil menunjukkan kotak termos es padaku.
“Wah, Bintang memang hebat!
“Orang-orang mau beli es mambo asalkan Bintang mau disuruh menyanyi Mande. Jadi Bintang menyanyi aja asalkan esnya dibeli,” jawabnya polos.
“Oh, begitu ceritanya. Pantesan esnya cepat laku,” gelakku sambil memeluk Bintang. “Karena Bintang sudah capek berdagang, pasti sekarang perutnya lapar. Iya kan?” tanyaku dengan hati yang bungah karena bahagia.
“Iya Mande. Sekarang Bintang mau makan dulu dengan daging rendang yang banyak.”
“Sudah Mande siapkan diatas meja. Tapi Bintang cuci tangan dulu yah,” perintahku lembut.
“Oke Mande.” Bintang pun segera mengambil sabun dan mencuci tangannya hingga bersih. Setelah itu segera duduk menghadapi piring dan aneka lauk diatas meja. Dengan lahapnya Bintang menghabiskan nasinya. Aku tersenyum menyaksikan itu semua. Bintang kecilku ternyata benar-benar lapar.

20 tahun kemudian
Aku masih menunggu Bintang dengan gelisah. Sudah selarut ini dia belum juga kembali. Dari tadi pikiranku tak tenang. Sementara adik-adiknya Bintang telah terbang ke alam mimpi. Tiba-tiba kulihat sesosok lelaki jangkung memasuki halaman rumah. Aku bernafas lega. Bintang akhirnya pulang juga.

“Darimana saja kamu Nak. Mande khawatir sekali jam segini baru keliatan,” sambutku di depan pintu.
“Seperti biasa Mande, Bintang harus memberi les privat dulu pada murid-murid Bintang. Apalagi rumah mereka jauh-jauh. Jadi Bintang kemalaman terus sampai dirumah,” jawab Bintang sambil mencium tanganku.
Meski kagum pada kegigihannya, tapi jauh dilubuk hatiku merasa trenyuh melihat keadaan Bintang yang sekarang. Memang Bintang tetap menyinari hari-hariku dengan kepintarannya. Hanya saja fisiknya tak lagi seberisi dulu. Terlihat semakin kurus dengan warna kulit yang lebih hitam. Maklumlah, rumah murid-muridnya sangat jauh. Bahkan pernah bintang berjalan kaki disaat tak punya uang transfort. Rambutnya yang ikal terlihat gondrong karena Bintang tak punya waktu lagi untuk pergi ke tukang pangkas.

Akh, sejak restoran terbakar, abaknya Bintang hanya bisa kerja serabutan. Untuk memulai usaha lagi dari awal sudah tak mampu. Mengingat usianya yang semakin menua. Kondisi fisiknya tak lagi memungkinkan untuk bekerja keras. Selain tak punya modal yang cukup. Dan kini abaknya sudah tak lagi bekerja. Beban keluarga pun berpindah ke pundak bintang. Sementara Adik-adiknya Bintang masih kecil-kecil. Walau yang sudah agak besar seperti Adnan dan Rusli tak lepas tangan. Tapi hanya bintang yang bisa diandalkan.

Sebagai seorang ibu, aku hanya bisa mendorong dan mendoakannya. Aku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tak pernah bekerja mencari nafkah. Sepanjang hidupku kuhabiskan untuk mengurus keenam orang anak yang lahir berturut-turut dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Begitu anak-anak sudah besar, aku tak memiliki keahlian apa-apa. Selain mataku yang semakin rusak dan kabur, waktuku juga tak memungkinkan untuk mencari nafkah. Apalagi sekarang Abaknya sering sakit-sakitan. Otomatis waktuku habis untuk mengurusnya.

Masa-masa sulit harus kualami dalam membesarkan adik-adiknya Bintang. Aznan putra keduaku tak sesehat dan sesempurna bintang. Ketika duduk dibangku SMP sebuah musibah menimpanya. Kepalanya geger otak sehabis berkelahi dengan teman sekolahnya. Akibat lemparan batu yang tepat mengenai kepala belakangnya. Ditambah lagi penyakit malaria akut yang menimpanya. Tak jarang disaat panasnya tinggi, Aznan suka mengamuk karena panasnya sampai ke otak. Perabotan rumah hampir setiap hari hancur berantakan akibat amukannya. Akhirnya Allah memanggilnya di usia yang masih belia. Meski sangat sedih dan hancur, aku mencoba mengikhlaskan kepergian adiknya Bintang.

Allah mungkin lebih tahu tentang diriku. Seandainya Aznan terus hidup, dia akan terus menyusahkanku dengan penyakitnya itu. Karena selama hidupnya, Aznan sering mengamuk dengan menghancurkan perabotan rumah. Juga sering melempari orang-orang sekitarnya disaat panas tinggi menghinggapi otaknya. Hingga aznan melampiaskan rasa sakit yang dia rasakan dengan amukan. Airmataku pun sudah kering dalam menghadapinya. Mungkin inilah jalan keluar terbaik dari Yang Kuasa pada seorang ibu yang tiada daya sepertiku. Yang aku sendiri tak mungkin sanggup memikulnya terus. Aku tahu Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Aku yakin selalu ada hikmah dibalik setiap masalah yang kualami.
Adik bungsu Bintang lain lagi masalahnya. Dia sering mengeluh merasakan sakit dibagian perut dan dadanya. Bolak-bolak aku membawanya ke dokter. Tapi tak kunjung sembuh jua. Yang lebih mengejutkan lagi, setelah diperiksa luar dalam tak ditemukan penyakit apapun. Benar-benar diluar jangkauanku sebagai seorang manusia. Hingga suatu hari aku menemukan sebuah kain yang dibungkus rapi. Begitu dibongkar terlihatlah isi yang sungguh aneh. Beberapa buah jarum dan serbuk besi terbungkus didalamnya. Oleh orang pintar Mukhlis dibilang terkena santet.
Akh, aku tak ingin menduakan Tuhan. Lagipula siapa yang sudah begitu tega berbuat itu padaku dan anakku? Aku merasa tak pernah memiliki musuh. Kupasrahkan semua pada Ilahi. Kubawa adiknya Aznan berobat ke seorang ustad. Setelah diterapi dan didoakan, akhirnya penyakit Mukhlis bisa disembuhkan.
Takdirkah ini semua? Aku tak pernah menyesal pernah menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua. Hingga saat anak-anakku beranjak dewasa suamiku sudah begitu renta. Dan kini menjadi beban tanggung jawabku dan anak-anak untuk mengurusnya.
“Bintang. Kamu jangan terlalu memaksakan diri mencari penghasilan tambahan Nak. Kan masih ada Rusli adikmu yang juga bekerja. Mande takut kau nanti jatuh sakit,” ucapku khawatir.
“Tidak apa-apa Mande. Bintang baik-baik saja kok,” jawabnya tersenyum.
“Kamu tak perlu berjalan sejauh itu setiap hari Nak. Jangan terlalu menghemat uang ongkos demi kami yang ada dirumah.”
“Bintang sudah terbiasa berjalan jauh kok Mande. Meski lebih capek, tapi kaki bintang jadi semakin kuat,” ucap Bintang lagi.
“Tapi kalau terlalu capek, kamu tak bisa belajar dengan baik. Karena begitu sampai dirumah langsung tertidur karena letih. Bisa-bisa pelajaran kuliahmu terbengkalai.”
“Jangan terlalu cemas Mande. Bintang bisa belajar dimana saja. Bahkan di dalam kendaraan sekalipun,” jawabnya mencoba menghiburku. Aku hanya bisa pasrah mendengar jawaban cerdas Bintang. Dia semakin dewasa di usianya yang sekarang.
Itulah Bintang. Meski ditengah keadaan ekonomi keluarga yang semakin morat-marit, dia tetap ngotot untuk terus melanjutkan kuliahnya. Dia memiliki cita-cita yang sanagat tinggi yaitu ingin bersekolah ke luar negeri. Dia juga berambisi untuk bisa mengantarkan adik-adiknya kejenjang sarjana. Untuk itulah Bintang mencari uang sendiri dalam membiayai kuliahnya. Disamping untuk membantu ekonomi keluarga.
Aku begitu bahagia memiliki anak seperti Bintang. Selama hidupnya Bintang selalu menghiasi hidupku dengan kecerdasannya. Dia selalu rangking disekolah. Hingga bisa masuk ke sekolah favorit dari mulai SD hingga kuliah. Yah, Bintang diterima di fakultas negeri jurusan ekonomi dengan skor yang tinggi. Ketekunan dan kesukaannya pada bukulah yang membuatnya selalu menjadi nomor satu disekolah. Memang sejak kecil Bintang suka membaca. Bahkan kertas bungkus belanjaan pun tak luput ia baca. Hingga sedari kecil dia sudah kubelikan buku-buku cerita agar minat bacanya tersalurkan. Sekarang Bintang sudah menjadi lelaki dewasa yang penuh tanggung jawab. Aku semakin bangga padanya.

Hari ini kami sekeluarga begitu berbahagia, karena Bintang akan diwisuda menjadi seorang sarjana ekonomi. Aku, suamiku, juga adik-adiknya Bintang datang untuk menghadirinya dengan sukacita. Pagi-pagi sekali kami sudah sampai dikampus Bintang. Meski acara belum dimulai, kami menunggu dengan sabar dan senang. Berkali-kali kutatap wajah Bintang yang sedang berbinar-binar bahagia.
“Sebentar lagi kerja kerja kerasmu akan terbayar Nak. Mande bangga sekali padamu,” ucapku sambil memegang erat tangan Bintang.
“Iya Mande. Tak sia-sia usaha keras Bintang selama ini. Ini semua Bintang lakukan demi Mande dan adik-adik. Bintang akan segera mencari kerja setelah ini. Doakan Bintang yah Mande,” ucap Bintang sambil menatapku bahagia.
“Tentu saja Nak. Mande tak akan pernah berhenti mendokanmu,” jawabku sambil tersenyum. Senyum bahagia yang sulit kulukiskan. Tak lama lagi Bintangku akan semakin bersinar dalam hidupnya.
Tiba saatnya acara wisuda dimulai. Kami segera masuk ke dalam atrium yang cukup besar. Tamu-tamu undangan sudah banyak yang hadir. Mereka para orangtua siswa dan teman-teman siswa yang hendak diwisuda. Satu-persatu para wisudawan naik ke atas panggung saat dipanggil. Pas giliran Bintang yang naik, kami sudah bersiap-siap hendak memotretnya. Air mata haru menetes dikedua pelupuk mataku, saat melihat Bintang memakai toga dan dilantik untuk diwisuda. Kulihat mata Abaknya berkaca-kaca. Adik-adiknya Bintang tersenyum gembira melihat Udanya yang terlihat gagah saat diwisuda.
Setelah acara wisuda selesai, kami segera mendekati Bintang. Memeluknya dan memberinya ucapan selamat. Sebagai ungkapan kebahagiaan, kami berfoto bersama. Bintang juga menyediakan dirinya untuk difoto oleh teman-temannya. Mereka saling berangkulan dan memberi ucapan selamat.
“Apa rencanamu setelah ini,” Tanya salah seorang teman Bintang.
“Aku mau cari kerja ke Jakarta Wan, kamu sendiri?” Tanya Bintang.
“Aku mau melanjutkan S2 ke Amrik,” jawab Wawan.
“Aku juga ingin melanjutkan S2 Wan, tapi gak sekarang. Aku harus cari kerja dulu agar punya bekal untuk itu. Maklumlah aku tidak sekaya kamu Wan.”
“Kamu kan bisa sekolah ke luar negeri dengan mencari beasiswa. Apalagi otakmu encer. Coba-coba aja Bintang. Aku yakin kamu bisa lolos.”
“Kamu bisa aja Wan. Nantilah aku pikirkan hal itu. Yang terpenting sekarang aku hendak mencari pekerjaan dulu.”
“Semoga semuanya lancar yah,” ucap Wawan sebelum pamit pergi. Aku yang mendengarnya merasa terharu. Ternyata Bintang tetap menyimpan cita-cita yang sangat tinggi Semoga Bintang bisa mewujudkannya suatu hari nanti. Sebagai seorang ibu, aku hanya bisa mendoakannya. Setelah selesai berfoto-foto dan saling bertukar cerita dengan teman-teman wisudanya, Bintang pun mengajak kami pulang. Sepanjang perjalanan, masih tersisa binar-binar keceriaan itu di wajah Bintang. Selama didalam mobil, dia terus bercerita dengan penuh semangat tentang rencana hidupnya yaitu ingin segera membahagiakan aku dan adik-adiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut