novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Jumat, 12 April 2013

Kutemukan Keramahan Dan Ketulusan Lewat Tetangga dikampung

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama. dengan tema “Disekitar Rumahku”



Tak selamanya sesuatu yang tidak kita sukai, akan merugikan kita. Bukankah Tuhan pernah berkata, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal dibalik semua itu tersimpan sebuah kebaikan untukmu. Suamiku mencoba menasehatiku disaat aku berkali-kali mengeluhkan tempat tinggal kami yang jauh terpencil.
Awal mula suami memberitahu akan membeli tanah di desa, aku tak setuju. Tapi karena tak ada pilihan aku menurut saja. Kukatakan tak ada pilihan karena keuangan kami memang tak cukup untuk membeli rumah di ibukota. Mau mengambil perumahan suami merasa tidak sreg. Alasannya cicilannya berlangsung cukup lama. Rumah yang didapat juga sangat kecil. Paling runah tipe 36 yang bisa sesuai kantong kita, begitu katanya.

Bagiku, biar rumah kecil asal dekat kemana-mana kan tidak masalah? Tapi pikiranku mengenai tempat tinggal berbeda dengan suami. Baginya lebih enak membeli tanah yang cukup luas karena bisa membangun rumah yang cukup besar dibandingkan mengambil perumahan, sebab harga tanah cukup murah di desa. Apalagi kami memiliki anak yang masih kecil-kecil. Rumah yang luas dengan halaman yang lebar akan membuat ruang gerak ketiga buah hati kami cukup lega.

 
Setelah rumah selesai dibangun diatas tanah seluas 200 meter, resmilah kami tinggal dikampung nanggela desa sukmajaya kec tajurhalang bogor. Suami begitu gembira begitu juga anak-anak. Tapi aku tetap tidak suka membayangkan tingggal di desa selamanya. Bandingkan saja. Selama ngontrak di Jakarta aku bisa pergi kemana-mana hanya dengan angkot atau bis yang ongkosnya cuma 2000 perak. Sementara semenjak tinggal di desa aku harus naik ojek ke pasar dengan ongkos 20000 pp. Alhasil, akupun memutuskan untuk pergi belanja sekali seminggu saja mengingat uang transportnya lumayan besar bila pergi setiap hari.

Disamping itu aku tak bisa lagi jalan-jalan cuci mata ke mall, sebab tinggal didaerah tak ada supermarket apalagi Mall. Pokoknya kemana-mana serba jauh. Akibatnya aku pun jarang keluar seperti dulu, dan lebih banyak tinggal dirumah saja. Mulanya hari-hari yang kurasakan begitu membosankan. Tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin aku berdebat terus dengan suamiku dan menuntutnya untuk segera pindah ke kota. Bisa-bisa kami bertengkar terus hingga rumah tangga tak lagi harmonis.
Waktu terus berjalan. Akupun mulai menikmati sejuk dan nikmatnya hidup dikampung. Ternyata banyak hal inspiratif yang kudapatkan lewat tetangga baruku dikampung


Pertama udaranya jelas lebih sejuk dan bersih dari daerah perkotaan, tempatku mengontrak dulu. Masih banyaknya pepohonan hijau, membuat lingkungan sekitar tempat tinggal kami begitu sehat ditambah tak banyaknya kendaraan yang lalu lalang hingga bebas dari polusi. Apalagi Indonesia kaya dengan banyaknya tanaman, dimana apa saja yang ditanam langsung tumbuh. Dan kita bisa menemukan banyak tanaman dikampung. Mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, rotan dan kayu untuk bahan kerajinan. Bahkan banyak kulihat warga desa mengerjakan kerajinan dari daun pandan untuk membuat tikar. Setelah jadi bisa dijual atau dipakai sendiri. Sementara dikota daun pandan hanya untuk pewangi masakan.

Yang kedua, masyarakatnya hidup sangat sederhana dan ramah-tamah. Bila bertemu selalu menyapa duluan dan suka tersenyum. Kalau dijakarta bor-boro. Yang ada siapa elu siapa gue. Meski tak hampir semuanya begitu. Karena kesederhanaan warganya membuatku jadi tahu hidup prihatin. Tak lagi membuang-buang uang untuk belanja yang tidak perlu seperti dulu, apalagi kalau sudah ke Mall. Padahal awalnya cuma ingin cuci mata. Nyatanya tergoda untuk membeli yang sesungguhnya kurang kuperlukan.
Yang ketiga, semangat kebersamaan warga desa cukup tinggi bila dibandingkan dengan warga kota. Bila ada warga yang terkena musibah, tanpa dikomando mereka saling membantu dengan memberikan apa saja yang mereka miliki. Bisa beras, makanan kering, uang ataupun tenaga. Hingga yang terkena musibah merasa diringankan. Begitu juga bila ada yang keriyaan (red: hajatan) maka hal yang sama juga mereka lakukan.

Biasanya yang datang membawa bakul yang berisi beras, makanan kering dan kue-kue, juga barang lainnya. Ada juga sih yang hanya memberi uang diamplop, tapi hanya sedikit. Dan hal yang sama akan dilakukan bila yang bawa bakul punya hajatan, maka yang dulu dibawaain harus membawa apa yang dulu diberikan sipembawa bakul. Jadinya impas. Yang uniknya lagi, musik penghibur selama hajatan asli musik Indonesia yaitu Nasyid atau dangdutan. Dan kue-kue yang disajikan tak jauh-jauh dari aneka jajajan yang khas Indonesia seperti kue cucur, uli, dodol, wajik, rengginang, bolu kukus, dan banyak lagi.


Begitu juga bila ada salah satu warga yang sakit atau terkena musibah. Maka berbondong-bondong warga desa mengunjungi si sakit. Tak hanya sampai disitu, bila ada yang terkena musibah, maka warga urunan menyumbangkan dana bagi yang ditimpa kemalangan. Entah karena sakit parah dan tak punya biaya untuk berobat, juga kemalangan lainnya.

 Ternyata keramahan dan ketulusan semuanya bisa kita saksikan di kampung, selain  udaranya yang sejuk, sifat warganya yang kreatif, peduli satu sama lain, ramah tamah dan suka bergotong royong semuanya merupakan adat istidat yang terus hidup di Indonesia. Hal yang tak kutemui selama tinggal dikota.

 Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri”

2 komentar:

  1. Kelamaan asyik juga yah..hhh
    Kampung ma lebih asyik...yg paling membuat betah sebenarnya perhatian orang sekampung....

    BalasHapus
  2. iya ferdy betull sekarang sih saya udah sangat betah apalagi kalo bangun pagi eluar rumah sejuk bangettt

    BalasHapus

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut