novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Minggu, 07 April 2013

Empat Inspirator Yang Mengajariku Bersyukur

‘Syukur’ sebuah kata yang pernah jauh dalam hidupku. Bila kupalingkan hidupku sejenak kemasa lalu, aku pernah terdampar dalam kufur nikmat.! Yah, keluhan demi keluhan selalu terngiang dari batihinku. Merasa kurang puaslah, mengeluh mengapa harus begini? Dan mengapa harus aku? Disaat sebuah kegagalan dan penyakit menimpaku. Penyakit yang mengantarkanku pada lorong sunyi tanpa gairah pada apapun.

Termasuk gairah untuk menikmati kebersamaan bersama anak-anak dan suami. Yah, sebuah depresi akut tiba-tiba menghantam hari-hariku. Hingga selalu terbersit keinginan untuk mengakhiri hidup. Tiba-tiba dunia terasa hampa. Aku jauh dari semuanya. Jauh dari anak-anak, saudara, sumai bahkan pada Sang Pemilik Hidup. Tak ada lagi passion yang membuatku bersemangat menjalani hidup seperti dulu. Tragsinya, aku tak lagi menghargai arti hidup itu sendiri! Semua bermula saat beberapa karyaku berupa buku ditolak penerbit dengan berbagai factor. Ada yang karena tidak sesuai konsepnya dnegan naskah yang kupunya. Ada karena tiba-tiba editor yang mengurusi naskahku keluar dari penerbitannya. Dan berbagai alasan lainnya yang membuatku. tiba-tiba mengalami kejenuhan dalam menulis. Aku juga jadi benci dengan dunia tulis menulis.

Pokoknya segala hal yang berhubungan dengan menulis! Hari-hari yang kulewati pun menjadi membosankan. Bayangkan, biasanya setiap hari waktu dan pikiranku disibukkan oleh menulis. Mulai dari memikirkan ide tulisan, sampai mencari bahan untuk menulis. Selain itu, tak ada waktu selain duduk di depan laptop. Mulai dari mengetik kata demi kata sampai menjadi kalimat yang tersusun rapi dan apik. Sampai sekadar Facebook-an dan memposting tulisan di blog. Pokoknya segala kegiatan yang berhubungan dengan menulis.

 Tak ada lagi semangat dan optimis yang tinggi seperti awal mula menulis. Semuanya terbang begitu saja bersama mimpi-mimpi untuk menjadi penulis. Diriku sudah tak antusias lagi untuk mengejar impian menjadi penulis. Yang ada setiap hari aku hanya tiduran saja seharian. Herannya semenjak berhenti menulis, semua kegiatan pun tak lagi menaruh minatku. Seperti membaca, bahkan menonton televisi atau sekedar Facebook-an mencari hiburan seperti dulu. Menghabiskan waktu dengan meringkuk di ruangan kamar seharian memang membosankan, tapi untuk mengerjakan kegiatan lain pun sudah tak ada semangat. Tak hanya itu, menyuapkan nasi ke mulut pun sudah tak selera lagi. Sampai-sampai aku sering tak makan seharian. Aku juga mengalami susah tidur di malam hari. Kehilangan minat pada hal-hal yang dulu aku sukai yaitu menulis dan membaca.

Berbulan-bulan didera depresi, keluargaku pun membawaku berobat ke psikiater. Oleh psikiater, aku dianjurkan untuk minum obat anti depresan dan obat penenang. Minimal enam bulan aku harus minum obat. Selain itu aku juga harus menjalani terapi konseling. Psikater yang menanganiku juga mengatakan bahwa di akhir pengobatan sampai aku mau kembali menulis lagi, baru bisa dibilang sembuh. Namun baru tiga bulan, aku memutuskan untuk berhenti minum obat, meskipun hal itu dilarang oleh psikiater yang menanganiku. Aku bosan minum obat, karena perubahan yang aku dapatkan setelahnya tak begitu terasa.

Aku juga menolak untuk diajak balik lagi ke psikiater yang menurutku hanya akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Sedemikian parahkah penderitaan yang kualami? Hanya gara-gara sebuah kegagalan dan penyakit yang masih punya harapan untuk disembuhkan. Padahal disisi lain semuanya baik-baik saja. Anak-anak yang tumbuh sehat dan ceria. Suami yang setia dan bertanggung jawab. Seharusnya aku berada pada titik bahagia menerima limpahan rejeki. Tapi apa yang terjadi? Aku merasa jauh dari bahagia…dimana letak salahnya hidupku ini? karena merasa kurang bahagia disaat seharusnya aku berbahagia.


Entahlah….sampai akhirnya kutemukan sebuah jawaban dari empat inspirator yang kutemui. Dari merekalah aku belajar bersyukur bahwa penderitaan dan sakit yang aku dapatkan hanya secuil dari penderitaan dan cobaan yang mereka alami. Inspirator pertamaku adalah salah seorang sahabat saya di kota Yogya yang terkena gagal ginjal. Dia sempat down menerima kenyataan harus cuci darah dua kali seminggu karena ginjalnya yang sudah rusak. Saya membayangkan pastilah hidupnya jauh dari bahagia. Tapi begitu bertemu, sedikitpun tak terlihat kemurungan diwajahnya. Malah sebaliknya, begitu mudahnya dia tersenyum dan tertawa disaat kami bertukar cerita. Memang setelah bertemu dia tak lagi harus cuci darah seperti sebelumnya. Tapi sebagai gantinya dia harus membawa selang diperutnya. Dokter menganjurkan dia harus mengganti cairan sendiri dirumah sebanyak empat kali sehari. Dan itu harus ia lakukan seumur hidupnya.

Bayangkan! Rasa jenuh tentu menghinggapinya disaat harus mengganti cairan setiap harinya. Bayangkan juga dia harus membawa selang kemana-mana bahkan saat dia mengajar para mahasiswanya. Kebetulan profesinya adalah seorang dosen. Tapi dia katakan sedikitpun mahasiwanya tak tahu ada selang diperutnya. Dia juga berkata bahwa sedikitpun dia tak memikirkan penyakitnya hingga dia bisa menikmati hari-harinya. Dia bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup oleh Allah sehingga bisa terus mendampingi istrinya dan bercengkrama dengan kedua anaknya.

 Inspirator kedua adalah saudaraku sendiri yang digugat cerai oleh suaminya. Saya masih lebih beruntung darinya karena masih memiliki suami yang baik, setia dan begitu mencintai saya. Sementara suaminya sendiri berselingkuh dengan wanita lain hingga dia diceraikan oleh suaminya . Saya juga memiliki tiga orang anak yang lucu-lucu. Sementara teman saya tersebut hingga bercerai dari suaminya tak memiliki anak-anak yang bisa menjadi penghibur dan penguat hidupnya. Teman saya itu juga harus membanting tulang untuk menghidupi dirinya. Sementara saya tak perlu bekerja karena suami telah menghidupi saya dan anak-anak.

Inspirator ketiga adalah idola saya seorang comedian terkenal pepeng subarja. Setiap melihat dia tampil di layar kaca, hati ini kagum dengan semangat nya yang terus menyala. Hingga memutuskan untuk ikut menjenguknya bersama teman-teman komunitas. Harapanku ingin tahu secara lebih dekat bagaimana mungkin seorang pepeng masih bisa tertawa ditengah penyakit berat yang ia derita. Sejak terkena penyakit yang sangat langka yaitu lumpuh secara tiba-tiba, sedikitpun semangatnya tak pernah luntur. Bahkan beliau masih bisa bercanda ketika diwawancara dengan mengatakan bahwa saya bukan orang sabar tapi orang madura, ceritanya ketika seseorang mengatakannya sebagai orang yang sabar dalam menjalani penyakitnya.

Ditengah penyakit yang telah merampas sebagian besar nikmat hidupnya seperti bisa bepergian dan berakitivitas lagi seperti dulu, bahkan dia masih bisa melahirkan karya-karya yang penuh manfaat dan inspiratif lewat buku-buku yang ditulisnya. Padahal nyaris seluruh hidupnya dihabiskan ditempat tidur mulai dari makan dan buang air kecil. Tapi dia tetap menikmati keterbatasan dan penderitaannya dengan selalu bersyukur. Sementara aku yang sehat ini memilih utnuk tak melakukan apapun dengan terus meringkuk di dalam kamar. Akh, aku jadi malu mendengar kisah-kisah mereka diatas hingga membuat diri ini bangkit secara perlahan-lahan dari depresi.

Bersukurlah, bahwa orang yang memiliki keterbatasan saja tak pernah merasa minder dengan keadaannya. Banyak yang tak memiliki kaki atau tangan bisa menerima keadaannya. Dan sering kita saksikan kisah para tunanetra dan tunarungu yang memiliki semangat untuk tetap meraih prestasi. Subhanallah!

Begitu juga kala kita ditimpa bencana atau musibah, maka tegaskanlah diri kita bahwa masih ada yang nasibnya lebih malang dari kita. Bersyukurlah karena Allah masih memberikan kita kesehatan yang prima. Bayangkan betapa menderitanya orang yang terbaring dirumah sakit karena kanker dan sakit parah lainnya. Bahkan mereka tak bisa lagi menikmati makan dengan enak karena rasa mual akibat kemoterapi. .Apa jadinya bila kita harus membeli udara yang kita hiruf setiap hari? tentu hanya orang kaya saja yang bisa hidup.

Berbahagialah karena kita masih memiliki keluarga dan sahabat yang masih menyayangi kita dan mau mendengar keluh kesah kita. Ingatlah bahwa apa yang Allah berikan buat kita adalah yang terbaik buat diri kita. Tak mungkin Allah menimpakan sebuah ujian hidup diluar batas kemampuan kita. Yakinlah bahwa setiap ujian yang datang adalah bentuk kasih sayang dariNya, agar kita naik kelas demi meningkatkan derajat hidup kita. Bisa juga sebagai teguran buat kita karena pernah berbuat dosa. Bukankah Allah sudah berjanji bahwa Dia akan menambah nikmatNya bagi hamba-hambaNya yang tahu bersyukur. Bila kita kufur nikmat maka azab Allah sangatlah pedih. Demikianlah beberapa kalimat yang saya baca dari inspirator keempat saya yaitu sebuah buku motivasi penyemangat hidup.

 Ternyata selama ini seringkali diri ini menganggap bahwa aku hanya pantas menerima hal-hal yang baik saja dalam hidup ini. kesuksesan, karir yang mulus, harta yang berlimpah dan kesehatan yang prima. Tapi begitu mendapati kegagalan, kesulitan hidup dan penyakit, serta merta aku menganggap Tuhan tidak adil dengan mengeluh “ Mengapa harus saya?” Kini aku terus berusaha untuk bangkit secara perlahan-lahan dari depresi dan mulai menikmati hidup dengan selalu mencoba untuk bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut