novel yang diangkat dari kisah nyata
Selasa, 04 Oktober 2011
Tears In Heaven 5
Aku sudah hapal dengan watak Bintang yang begitu sensitive dan serius. Serta sulit begitu saja melupakan sakit hatinya. Tapi aku yakin Bintang tak pernah menyimpan dendam. Bintang hanya mudah terluka bila hatinya disinggung. Dan luka itu tak mudah kering dalam waktu sekejap. Butuh waktu bilangan bulan bahkan tahun untuk menyembuhkannya. Nampaknya watakku yang perasa menurun pada Bintang. Beda dengan adiknya Rusli yang lebih santai dan humoris.
Jadilah Setiap minggu Rusli menemani Abaknya makan direstoran Yanuar. Meski menurut Rusli Uda tirinya itu tak pernah turun menemui Abaknya yang sedang makan. Benar-benar tak punya hati, aku mendengus kesal mendengarnya. Untung Abaknya sudah gak ingat apa-apa, kalo gak hati orangtua mana yang tidak sakit dicuekin oleh anak sendiri. Tapi kami tak bisa mencegah keinginan suamiku untuk makan masakan Padang minimal setiap dua minggu sekali di rumah anaknya itu. Yang penting karyawannya si Yanuar sudah mengerti kalo yang makan adalah Bapak dari bos mereka. Mereka akan melayani dengan baik dan menyediakan lauk yang enak-enak yang ada direstoran itu. Gak lucu juga kan? masak anaknya punya rumah makan tapi Abaknya mati kelaparan. Jadi siapapun termasuk Yanuar tak bisa melarang keinginan Abaknya untuk bisa makan enak meski hanya dua minggu sekali.
Masalah satu selesai timbul masalah baru. Karena sudah menunggak uang listrik selama tiga bulan, akhirnya pihak PLN mengancam akan mencabut listrik dirumah. Aku kembali panik membayangkan rumah akan gelap tanpa cahaya lampu. Apalagi Bintang suka membaca, gak mungkin dia membaca di ruangan yang gelap gulita. Adik-adiknya Bintang juga tak bisa belajar kalau tak ada lampu. Andaipun dipasang lilin, tetap tak baik bagi mata mereka untuk membaca diruangan yang remang-remang.
“Bagaimana ini Mande? Upik kan mau ujian? Gimana bisa belajar. Mana Uda pulangnya nanti malam lagi,” sungut Upik kesal.
“Iya nih, Mukhlis juga sedang ujian kenaikan kelas. Kapan bisa belajar kalo lampu mati.”
“Untuk sementara kalian belajarnya siang hari saja dulu. Mande akan kerumah Etekmu di pasar merah. Siapa tahu dia bisa membantu kita. Kalian tunggu rumah yah.”
“Iya Mande,” jawab Upik dan Mukhlis serempak..
Aku harus mencari pinjaman uang untuk melunasi tunggakan listrik. Semoga Eteknya mau meminjamkan sejumlah uang yang diperlukan. Aku berharap besar saudara dari Abaknya Bintang mau membantu.
“Memangnya Uni mau minjam berapa?”
“Gak banyak Tek, hanya tiga ratus ribu saja,” jawabku senang. Karena akhirnya Eteknya bersedia meminjamkan.
“Tapi kapan Uni mau menggantinya?”
“Nanti kalo Bintang sudah dapat kerjaan Tek.”
“Bintang itu sarjana pak Ogah ya? Masak udah tamat masih nganggur,” cibir Etek Rohma.
“Cari pekerjaaan memang susah Tek. Tapi aku yakin, tak lama lagi Bintang pasti diterima bekerja,” jawabku tak enak hati. Meski amat tersinggung mendengar ejekannya, kucoba menahan hati demi uang tiga ratus ribu. Dan tanpa berlama-lama aku segera pamit pulang sambil menangis di dalam hati. Semoga masa-masa sulit ini segera berlalu dengan diterimanya Bintang bekerja, doaku tiada henti. Tanpa terasa, airmata membasahi kedua mataku yang sudah kabur. Segera kuputar langkahku menuju tempat pembayaran listrik. Bukankah semakin cepat dibayar, semakin baik agar listrik dirumah tak segera dicabut.
Begitu tiba dirumah, hari sudah sore. Tumben Bintang sudah ada dirumah begitu aku sampai.
“Mande darimana saja?”
“Dari rumah Etekmu meminjam uang untuk bayar listrik,” jawabku tersenyum. Mencoba menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Bagaimanapun Bintang tak boleh tahu betapa hancurnya hatiku mendengar sindiran tajam Eteknya.
“Kenapa Mande gak nunggu Bintang dulu? Biar Bintang yang pergi dari pada Mande harus keluar sampe sore begini. Bintang khawatir.”
“Sudahlah Nak, semuanya sudah beres kok. Kamu gak perlu terlalu mencemaskan Mande. Yang penting listrik dirumah kita gak jadi diputus.”
“Mande, Bintang benar-benar belum bisa membahagiakan keluarga kita. Bintang harus berbuat apa lagi agar kita segera terlepas dari kesulitan keuangan,” jawab Bintang lesu.
“Kamu jangan berputus asa Nak. Mande yakin kamu akan dapat pekerjaan tak lama lagi.”
“Itulah yang Bintang tunggu-tunggu Mande. Tapi sampai kapan? Sudah hampir satu tahun Bintang menunggu. Mengapa nasib baik belum juga berpihak pada Bintang? Bintang memang anak yang tak berguna! Ucapnya lagi.
“Bintang, kamu tak boleh menghukum dirimu sendiri. Banyaklah beribadah dan berserah diri padaNya. Mande tak pernah memaksa Bintang harus bekerja sekarang. Kalau memang Allah belum memberi, kita harus bisa terima Nak. Nanti juga tiba saatnya,” hiburku mencoba bersikap tegar dihadapan Bintang.
“Tapi Bintang gak tega melihat adik-adik yang kadang makan hanya berlaukkan garam seperti sekarang.”
“Kita harus tetap bersyukur Nak, yang penting masih bisa makan. Toh gak setiap hari adikmu makan tanpa lauk. Si Rusli masih suka membawa lauk sepulang dari tempatnya bekerja meski hanya sesekali.”
“Iya Mande, tapi kalo sampe bulan depan Bintang belum mendapat panggilan juga, Bintang akan merantau ke Jakarta dari pada menunggu terus tanpa kepastian. “
“Pergilah Nak, Mande tak akan pernah melarang. Yang penting kamu bisa menjaga diri. Sekarang kamu istirahatlah dulu, pasti capek karena sudah berjalan jauh untuk mengajar.” Bintang pun menurutiku. Setelah makan malam, dia segera masuk ke kamar dan menenggelamkan dirinya pada buku-buku. Hingga tertidur dengan buku menutupi wajahnya.
Aku sendiri tak dapat memejamkan mata. Hatiku masih sedih mengingat perkataan Eteknya tadi. Segera aku pergi berwudu’ dan menunanikan solat malam. Lalu berdoa dengan sepenuh hati.
“Duh Robbi! tolonglah kembalikan nama baik anakku Bintang. Aku tahu, dia sudah berusaha bekerja keras demi kami. Tapi usaha yang dia lakukan belum jua menampakkan hasil. Sebagai ibunya, hamba hanya bisa berdoa agar Kau memudahkan jalannya menuju kesuksesan. Kesukesan hidupnya dunia dan akhirat. Hanya kepadamu kami bergantung. Perkenankanlah permohonan hambamu yang lemah ini. Amin…”
Hari ini begitu cerahnya. Beda dengan hari-hari sebelumnya. Langit diterangi sinar mentari yang tak terlalu panas menyengat kulitku. Semangat baru seakan timbul kembali dihatiku. Entahlah, apa ini perasaanku saja. Kebetulan aku tak ada jadwal les privat hari ini. Aku akan kembali menata hidupku dengan menuliskan lamaran kerja yang baru. Tiba-tiba keasyikanku dikejutkan oleh suara tukang pos di depan rumah.
“Pos..pos..ada kiriman dari Jakarta,” teriak tukang pos nyaring. Seketika aku melompat dari tempat dudukku. Dan bergegas keluar kamar menghampirinya si tukang pos.
“Makasih yah pak,” ucapku riang setelah lebih dulu menandatangai surat tanda terima.
“Dari siapa Mande?” Tanya Bintang dari dalam rumah.
“Gak tahu Nak, tapi yang jelas dari Jakarta.”
“Mungkin saja surat panggilan kerja,” tiba-tiba Bintang sudah berdiri disampingku.
“Bintang buka dulu yah Mande, biar tahu isinya.”
“Bukalah, Mande sudah tak sabar.” Dengan hati-hati, ia sobek pinggir sampul surat yang berwarna coklat ditangannya. Tak lama kemudian,
“Akhirnya Bintang mendapat panggilan kerja dari perusahaan Perancis Mande,” ucap Bintang sambil memelukku senang.
“Alhamdulillaaahhh. Allah benar-benar mengabulkan doa Mande.”
“Bintang harus bersiap-siap untuk ke Jakarta besok. Soalnya tes wawancaranya dimulai minggu depan Mande.”
“Iya Nak, Mande akan bantu kamu bersiap-siap. Oh ya, kamu punya ongkos buat ke Jakarta?”
“Untuk ongkos ada kok Mande.”
“Tapi kamu perlu uang saku juga Nak. Untuk makan dan transfort selama di Ibukota. Kamu kan baru diterima bekerja, jadi belum menerima gaji kan?”
“Mande gak usah terlalu memikirkan hal itu. Bintang akan mencari pinjaman pada teman. Nanti setelah menerima gaji pertama akan Bintang lunasi.”
“Bintang, maafkan Mande yang gak bisa memberikan uang saku padamu. Andai saja perhiasan emas Mande belum terjual semuanya. Pasti kamu gak perlu bersusah payah seperti ini.
“Sudahlah Mande, Bintang gak papa kok minjam duit teman. Lagipula perhiasan Mande terjual buat menyekolahkan Bintang dan adik-adik juga. Bintang akan mengganti semua perhiasan Mande setelah Bintang bekerja dan menerima gaji nanti.”
“Gak perlu Nak, yang penting kamu dan adik-adik bisa berhasil. Itu sudah cukup bagi Mande.”
“Terima kasih yah Mande. Bintang sangat bersyukur memiliki Mande yang selalu mendorong Bintang untuk terus maju,” jawab Bintang tersenyum. Air mata haru membasahi kedua pelupuk mataku. Sungguh bahagia rasanya memiliki anak yang cerdas dan berbakti seperti Bintang.
Sepanjang hari, aku dan anak-anak menghabiskan waktu dengan hati yang riang. Seolah kedukaan dalam hidup yang kami alami kemarin sirna dalam sehari. Kami tak punya uang untuk merayakan keberhasilan Bintang dengan selamatan ataupun makan-makan. Malam harinya kami menghabiskan waktu dengan makan bersama dan berkumpul sambil bertukar cerita. Rusli, Upik, Iqra dan Mukhlis terus mengajak Bintang ngobrol. Mungkin karena besok mereka sudah berpisah. Jadi mereka habiskan waktu malam ini bersama Udanya. Biasanya mereka sudah tidur sebelum jam sembilan malam. Tapi malam ini meski jam telah menunjukkan pukul duabelas malam, mereka belum juga beranjak dari kamar bintang.
Bintang terus menanyakan pada adik-adiknya apa saja yang mereka butuhkan untuk keperluan sekolah. Bintang berjanji akan memenuhi kebutuhan mereka dengan rutin mengirimkan sebagian uang gajinya setiap bulan. Bintang juga menyuruh Rusli untuk berhenti bekerja dan meneruskan sekolah ke jenjang sarjana. Suara Upik, Iqra dan Mukhlis terdengar begitu semangat menyebutkan satu-persatu keinginan mereka. Aku menangis bahagia mendengar suara riuh mereka dari luar kamar. Begitu akrabnya mereka satu sama lain.
Begitu sayang dan perhatiannnya Bintang pada adik-adiknya. Sebuah berkah luar biasa yang Allah berikan untuk keluarga yang kumiliki. Sementara Abaknya Bintang sudah tertidur pulas. Dia seperti tak perduli dengan apa yang terjadi. Hidupnya hanya dihabiskan dengan makan, tidur, dan duduk diruang tamu melihat orang-orang yang lalu lalang. Sesekali anak-anak bergantian mengajak Abaknya jalan pagi atau sekedar menemaninya berjalan-jalan keluar untuk menghilangkan rasa jenuh.
Menjelang larut malam, suasana mulai hening. Rupanya anak-anak sudah tertidur pulas karena lelah. Sementara aku masih terjaga dan berniat akan melakukan solat malam. Untuk mengadukan kegembiraan hatiku pada yang Kuasa sembari mengucap syukur pada-Nya atas diterimanya Bintang bekerja. Akupun segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudu’. Meski ditengah rasa kantuk yang tak tertahankan. Keesokan harinya, aku lebih sibuk karena harus mempersiapkan keberangkatan Bintang. Adik-adiknya Bintang juga sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Hanya Rusli yang menemaniku ke bandara dengan bolos bekerja.
“Uda, Upik ingin mengantarkan Uda ke bandara. Tapi Upik lagi ujian jadi gak bisa ditinggal.”
“Iqra juga Da. Nanti Uda sering-sering kirim surat ya?”
“Iya, itu sudah pasti. Kalian belajar yang rajin yah. Jaga Mukhlis baik-baik. Bantu Mande di rumah,” nasehat Bintang lembut.
“Mukhlis ingin dibelikan sepeda Da,” ucap Mukhlis manja.
“Kalau kamu nanti juara di sekolah, Uda akan kasih hadiah sepeda yang bagus. Jadi tetap semangat ya.”
“Iya Da, semangat!,” jawab Muhklis. Kami pun tertawa mendengarnya.
Setelah satu persatu adiknya Bintang pergi, kini giliran Bintang minta ijin pada Abaknya sebelum berangkat.
“Bak, Bintang akan ke Jakarta untuk bekerja. Bintang minta restu yah Bak.”
“Oh, Wa-ang? Pailah abak senang Wa-ang sudah diterima bekerja.” Tak berapa sesampainya di Bandara, pesawat datang tepat waktu. Bintang pun bersiap-siap untuk naik pesawat.
“Mande, Bintang mohon doa restu agar selama disana dimudahkan urusannya,” ucap Bintang sambil memelukku.
“Rusli, Uda titipkan adik-adik padamu. Jaga mereka baik-baik yah..”
“Sudah pasti Uda, gak usah khawatir,” jawab Rusli haru.
“Pergilah Nak. Doa Mande menyertaimu. Sering-sering kirim kabar yah?”
“Iya Mande, Bintang pamit dulu.” Aku pun melepasnya dengan berurai air mata. Berat rasanya harus hidup berjauhan dengan Bintang. Tapi hidup dan keberhasilan Bintang lebih utama. Aku harus kuat dan tegar melepasnya. Demi masa depan Bintang dan adik-adiknya. Kutatap terus punggung Bintang sampai hilang dari pandangan. Aku dan Rusli melepas Bintang dengan hati yang penuh harapan. Sebelum jauh, sekali lagi Bintang melambaikan tangannya dan tak menoleh lagi ke belakang.(bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
translasi
meninjau polling pengunjung
!-- Start of StatCounter Code -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar