novel yang diangkat dari kisah nyata
Senin, 06 September 2010
cerpen memaafkan
Kata kata yang menghancurkan, meninggalkan bekas luka dihati. Memaafkan orang yang telah menggoreskan luka memang tak mudah. Butuh kesabaran dan keikhlasan hati dalam memberi maaf. Dihari kemenangan ini, mampukah ia melakukannya? Mengingat luka dihatinya cukup dalam pada mantan suaminya.
Gema takbir dan tahmid berkumandang.menyerukan kebesaran dan keagungan Tuhan subhanahu wata’ala. Rasa syukur dan haru membaur menjadi satu. Syukur,karena telah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan dengan baik, meski tak penuh karena adanya tamu bulanan. Haru,karena sebentar lagi akan berpisah dengan bulan suci yang penuh rachmat. Semoga Ramadhan kali ini, bukanlah menjadi Ramadhan yang terakhir baginya. Begitu pula harapan umat muslim di seluruh penjuru dunia.
Begitu memasuki aidil fitri, setiap umat muslim dan muslimah terlahir suci kembali. Bagaikan kertas putih yang tanpa noda. Baik seorang bayi yang baru lahir kedunia. Hari-hari mendatang, akankah kertas putih bersih itu ia isi dengan catatan-catatan kebaikan?atau sebaliknya,catatan keburukan yang ia buat baik secara sengaja ataupun tidak.
Mampukah ia mempertankan kebersihan hati dan pikirannya dari amaraah dan dendam? Memang,sebuah perjuangan yang cukup sulit. Sebagai manusia, ia tak bisa lepas dari godaan. Dan godaan hawa nafsu merupakan cobaan terberat dalam hidup manusia. Hawa nafsu amarah, benci, dendam, dan gemerlapnya duniawi. Kedepannya akankah imannya bertambah? atau semakin berkurang adanya.Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu kelemahannya. Sebagai manusia,dia hanya bisa berusaha sambil berdo’a, untuk terus memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik.
Anisa memandang lepas keluar jendela. Menatap bintang yang berpijar-pijar indah dilangit yang tinggi. Kebiasaannya sejak kecil tak pernah hilang. Dulu bila ibu memarahinya karena salah, dia akan mengurung diri dikamar sambil menatap bintang-bintang, untuk mengobati rasa marahnya pada ibu. Sampai akhirnya ia mengantuk dan tertidur. Keesokan harinya rasa sedih dan marahnya tak ada lagi. Tapi sekarang, mengapa begitu sulit?
Sekarang batinnya sedang gundah. Hanya dengan menatap bintang-bintang di langit yang hitam, dia merasa sedikit tenang. Mencoba menenangkan kegundahan hatinya dengan menikmati cahya bintang dimalam hari. Sambil tak lupa berdjikir memuji keindahan semesta ciptaan yang Kuasa.
Kedua anaknya Alit dan Alisa sedang ikut neneknya kemesjid. Dia menikmati kesendiriannya. Dia perlu rehat sejenak setelah tubuhnya penat sehabis berbenah dan memasak aneka makanan untuk hidangan lebaran. Opor ayam, ambal aty, dan sayur lodeh, telah beres ia kerjakan.Sedangkan kue-kue kering, jauh-jauh hari sudah ia pesan pada teman arisannya Shinta, yang memang dikenal pintar membuat aneka cake di kompleks perumahan merka.
Akh…..sebenarnya tak ada tamu yang terlalu istimewa yang akan datang besok. Tapi bagi kedua anaknya, kedatangan ayah mereka dirasa sangat special. Seperti lebaran tahun lalu, ayah dari kedua anaknya itu akan datang lebih awal dari tamu-tamu yang lainnya. Tak sekedar menengok, tapi juga mengajak pergi Alisa dan Alit ketempat-tempat hiburan dan permainan. Setelah lebih dulu menyantap makanan bersama Alit dan Alisa. Dia ikut bahagia melihat binar-binar keceriaan diwajah kedua anak kesayangannya. Hanya itu yang ia rasa, tak lebih.
Meski mantan suaminya meencoba bersikap sangat manis padanya dibanding sewaktu mereka masih menjadi sepasang suami istri,dia tetap tak tergerak. Padahal kata-kata yang diucapkan Bang Togar tak lagi sekasar dulu, saat dia masih menjadi istrinya. Ia tak tahu pasti apakah Bang Togar benar-benar sudah berubah dan menyesali perbuatannya. Dengan berkali-kali memohon untuk ia maafkan. Ataukah sekedar siasat agar hatinya luluh dan mau rujuk kembali padanya?
“Demi anak Annisa. Apakah kau tega menghancurkan masa depan mereka dengan perpisahan kita? Berilah abang kesempatan kedua.”
“Tapi, aku belum bisa menerima Abang sekarang. Abang kan tahu, aku belum siap untuk berumah tangga lagi dengan abang,”jawabku dengan nada dingin.
Bang Togar pun tak berkata-kata lagi mendengar jawabannya. Yah…..sikapnya belum berubah pada mantan suaminya itu pada saat lebaran tahun lalu.Tapi,bagaimana kalau besok Bang Togar kembali membujuknya untuk rujuk? jawaban apa yang akan diberikan? Hal itulah yang membuat hatinya dilanda gundah dan bingung. Disatu sisi dia ingin melihat anaknya bahagia.tapi disisi yang lain, ada segores luka hati yang belum kering. Hanya saja, dia perlu waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan sayatan hatinya yang terluka cukup dalam.
Maafkan hamba ya Allah…..yang sampai detik ini tak jua dapat menerima ayah dari anak-anak hamba. Karena hati ini pernah berdarah-darah dibuatnya. Bang Togar yang awalnya dikenal sebagai seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab, ternyata seorang yang sangat temperamental. Apabila dia melakukan kesalahan sedikit saja, cacian dan makian akan terlontar begitu saja dari mulut suaminya. Apalagi bila menyangkut pengasuhan kedua anaknya. Bang togar sangat mendiktenya sedemikian rupa.
Perbedaan-perbedaan dalam pola asuh diantara mereka semakin tajam. Diapun sudah tak mampu bertahan lagi dalam biduk rumah tangga yang di dalamnya kerap terjadi percekcokan. Hampir tak ada lagi keharmonisan seperti di awal-awal pernikahan. Mungkin pola asuh dalam keluarga berperan besar dalam membentuk karakter suaminya.
Memang,sejak kecil Bang Togar di didik penuh dengan disiplin dan ketat oleh bapaknya. Maklum, bapak Bang Togar adalah seorang militer. Pukulan dan kata-kata kasar adalah makanan sehari-hari bagi mantan suaminya.
Berbeda dengan dirinya . Sedari kecil ia di didik dengan pola demokrasi dan penuh kasih sayang serta kelembutan. Hampir tak pernah dia mendapat perlakuan kasar dari kedua orang tuanya. Apalagi dia merupakan anak perempuan satu–satunya dikeluarga. Posisi tersebut membuatnya sedikit manja dan terkadang berlaku kekanak-kanakan. Dan tanpa sadar terbawa hingga ia memiliki suami. Salah satu yang membuat Bang Togar mengkritik tingkah lakunya.
Bang Togar ingin dia bersikap dewasa dan tegas.Dan dia sudah berusaha memenuhi harapan Bang Togar. Sudah banyak perubahan yang ia lakukan. Tapi Bang Togar tetap tidak mau berubah. Malah semakin membuatnya tertekan dengan mengekang kebebasannya. Membatasi segala aktivitasnya diluar rumah. Jadwal berkunjung kerumah keluarganya juga sangat dibatasi. Tak ada toleransi keluar rumah sekedar mengusir kejenuhan. Bang Togar hanya ingin ia dirumah saja mengurus anak-anak. Tak ayal, dia pun tak lagi merasakan rumah tangganya sebagai surga.
Malam bertambah larut .tapi dia tak jua bisa memejamkan mata, meski badannya terasa lelah. Pikirannya masih dipenuhi oleh pergulatan-pwrgulatan batin yang ta kunjung bisa ia temukan jalan keluarnya.
“Assalamualaikum…” kesendiriannya terusik mendengar suara salam dari Alit dan Alisa. Berbarengan. Rupanya mereka sudah pulang dari mesjid.
“Waalaikum salam...,”jawabnya . segera dia keluar kamar menemui kedua anaknya.
Hari mulai terang-terang laras.sanak keluarga yang sedari tadi ramai memenuhi rumah Mamak mulai pamit satu-persatu. Annisa pun membereskan rumah dan mencuci perabotan yang kotor.
“Alisa dan Alit. Ayo Bantu Ummi membereskan meja makan,” perintahnya lembut. Namun kedua malaikat vkecilnya itu tak jua beranjak dari kursi tamu. Wajah keduanya terlihat begitu tak bahagia. Ada rona kesedihan terpancar dari wajah anak-anaknya.
Annisa sangat mengerti kalau kedua buah hatinya sangat kecewa lebaran kali ini. Diantara semua tamu yang datang, hanya ayah mereka yang belum muncul sampai sesore ini. Meski dia tak terlalu memikirkannya, tapi dia tak bisa cuek untuk tak memikirkan perasaan permata hatinya. Bagaimanapun, tak ada yang namanya bekas ayah bagi seorang anak.
“Ayah kok belum datang juga Mi. Alisa kan pengen jalan-jalan sama ayah.”
“Iya. Alit juga pengen main games sama ayah.”
“Pokoknya kami enggak mau lebaran tanpa ayah!” kedua anaknya berseru kompak dan langsung masuk ke dalam kamar. Melihat itu, Annisa ikut sedih.
Rasanya, dia ingin menelepon Bang Togar. Menanyakan mengapa dia tak datang mengajak anak-anak? Tapi dia urungkan niat tersebut karena gengsi. Bukankah itu sudah kewajiban Bang Togar sebagai seorang ayah? Buat apa dia susah-susah mengingatkan. Tiba-tiba telepon diruang tamu berdering saat dia sedang sibuk di dapur. Tak lama kemudian Mamak menghampirinya, membawa berita yang tak pernah ia harapkan.
“Bang Togar sakit apa katanya Mak?” Annisa bertanya cemas.
“Yang Mamak dengar tadi terkena serangan jantung. Dan sekarang sedang dirawat diruang ICU.”
Tanpa menunggu lagi, dia segera mengajak Mamak, Alit dan Alisa ke rumah sakit malam itu juga. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, tak henti-hentinya dia berdoa. Dalam hatinya ada sejumput penyesalan, karena masih bersikap argan untuk tidak memaafkan mantan suaminya.
Ya Allah! Lenyapkanlah dendam dihati hamba. Agar lebih optimis dan ringan dalam melangkah. Juga bukakanlah pintu hati Bang Togar untuk bisa berubah. Amin…Ia menutup doanya dengan air mata berlinang.
dimuat di majalah alia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
translasi
meninjau polling pengunjung
!-- Start of StatCounter Code -->
ini cerpen ente gan?
BalasHapus