novel yang diangkat dari kisah nyata
Selasa, 15 Juni 2010
ketika merpati patah sayapnya
Ketika Merpati Patah Sayapnya
Nadia merasakan kebahagiaan seutuhnya sebagai seorang wanita. Bukan karena memiliki karir yang sukses, atau memiliki suami kaya raya, yang memanjakannya dengan segudang materi. Juga bukan karena popularitas yang didambakan setiap wanita yang memilki kecantikan fisik seperti dirinya.
Nadia hanyalah seorang wanita biasa yang menikah dengan pria biasa juga. Winarto, seorang suami yang bertanggung jawab serta penegrtian. Itulah yang ia impikan dari seorang suami. Memiliki seorang anak yang cantik dan cerdas. Dirinya puas menjalani peran sebagai ibu rumah tangga saja.Waktunya banyak dihabiskan untuk mengurus anak dan suami. Semuanya ia lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu.
Masih hangat dalam ingatannya, bagaimana reaksi ibunya ketika ia utarakan niat untuk menikah. Padahal usianya masih muda, belum 25 tahun. saat Winarto melamarnya.
“Mengapa buru-buru menikah? nikmati dulu kesuksesanmu, dengan mencapai karir yang gemilang Nadia, sebelum kamu memilki anak. Pikirkan masa depanmu!”
“Apakah berumah tangga dan memilki keluarga yang harmonis bukan masa depan, Bu?”
“Ibu tahu. Tapi, apa kau puas hanya menjadi ibu rumah tangga saja?”
“Insya Allah Bu.”
“Kalau itu keputusanmu, Ibu tak dapat memaksa. Semoga kamu dapat menjalaninya tanpa rasa penyesalan di kemudian hari.” Ibu pun berlalu dengan segurat kekecewaan diwajahnya.
Ah, Ibu. Tidakkah kau sadar, karena sibuk berkarirlah anakmu ini dulu sering kesepian. Dan yang lebih fatal lagi, ayah pergi meninggalkan Ibu karena sudah tidak tahan lagi dengan kesibukan ibu, yang seakan-akan tak pernah berhenti. Hingga tak ada waktu buat kami, aku dan ayah. Selain hanya karir dan karir. Walaupun dulu dia kagum dan bangga dengan kesuksesan ibunya, yang melesat dengan cepat. Namun waktu jualah yang menyaksikan betapa menderitanya dia. Diusia yang masih muda, harus menghadapi perceraian kedua orang tuanya. Keluarga broken home!
“Dari dulu Ibu tak pernah mengerti aku, Mas. Selalu membuat jarak denganku demi ambisinya.”
“Bagaimanapun, dia tetaplah Ibumu Nadia. Mungkin kitalah yang harus mengerti bahwa dia berniat baik, meski dia tak bisa memahami kita. Yang penting, kamu maukan menjadi ibu bagi anak-anakku?” Akupun memberikan senyum termanisku. Merasa tersanjung mendengarnya.
Pernikahan tetap berjalan, walau tanpa dukungan sepenuhnya dari Ibu. Ibu terpaksa merestui karena dia tahu, tak akan mengubah keputusa Nadia. Untuk menikah dan segera memilki anak. Impian memilki keluarga yang harmonis.
Tak sampai satu tahun, Nadia hamil. Betapa bahagia dirinya. Berbagai rencana pun bermunculan dalam menyambut mutiara hatinya. Mempersiapkan nama yang indah. Berbagia keperluan bayi, serta mempersiapkan mental dengan banyak membaca buku merawat dan membesarkan anak.
Membayangkan buah hatinya menatapnya manja disaat menyusui nanti. Dengan tatapannya yang masih lugu. Mendengarkan tawa anaknya yang jernih. Sejernih pikiran kanak-kanaknya. Nadia senyum-senyum sendiri membayangkan hari bahagia itu akan tiba.
“Kamu mengambil cuti Nadia? Berapa lama? Selamat ya, belum lama menikah sebentar lagi akan memilki momongan. Pasti dia cakep seperti Ibunya.”
“Bagaimanapun wajahnya, dia pastilah bayi tercantik bagiku. Oh, ya. Aku bukan hanya mengambil cuti, tapi berniat untuk fokus dulu pada anakku.”
Kamu tidak akan berhenti bekerja kan, Nadia? Sayang, karirmu lagi menanjak.” Dewi mentatapnya tak percaya.
Nadia tersenyum. Dewi tahu, Nadia adalah mahasiwi psikologi dari universitas ternama. Yang setiap tahunnya selalu mendapatkan beasiswa. Dan lulus dengan nilai cumlaude. Sebentar lagi akan naik jabatan sebagai kepala personalia. Bagaimana mungkin hanya puas sebagai ibu rumah tangga saja. Tak bisa dipercaya!
“Mengapa tidak? Aku rela melepas karirku demi menjadi ibu rumah tangga dan totalitas mengurus keluarga.”
“Sederhana sekali!” teman-teman kantornya memberi komentar setengah tak percaya.
“Apakah status rumah tangga itu hina? Serendah itukah panadangan kalian? Banyak anak-anak yang sukses ditangan seorang ibu rumah tangga biasa.”
“Tentu saja kami tidak apriori seperti itu,” tiba-tiba Melinda menyela.
“Iya Nadia. Kami hanya mempertanyakan dirimu yang kami tahu sangat berpotensi untuk menjadi wanita yang sukses di kantor ini,” temannya yang lain ikut bicara.
“Kalau begitu, terima kasih atas perhatian dan sanjungan kalian. Aku tetap tak terpengaruh,”jawab Nadia dengan senyum mengembang. Akhirnya teman-teman kantornya pun bungkam. Demi mendengar jawaban tulus dari Nadia.
Setelah dia keluar dari pekerjaanya, Nadia tetap menjalani perannya dengan senang hati. Walau dia harus berkutat dengan urusan rumah tangga, sementara teman temannya menapaki karier di perusahaan – perusahaan ternama.
Bagi Nadia, keluarga adalah segala – galanya. Dia takut hubungan emosional dengan anaknya akan jauh. Seperti yang pernah ia alami dulu dengan ibunya. Dia tidak siap harus bersaing dengan seorang pembantu, bila di bekerja. Ia ingin totalitas mengasuh dan membesarkan anaknya. Ia ingin menjadi orang yang pertama kali tahu perkembangan anaknya dari hari-ke hari, bukan orang lain, atau pembantu. Bukankah suatu keinginan yang sederhana? Keinginan setiap ibu rumah tangga.
Hidup adalah pilihan. Dan Nadia sudah memilih hidupnya. untuk menjadi seorang ibu rumah tangga biasa. Menjadi wanita karier, bukanlah impiannya kini. Waktu terus bergulir. Nadia disibukkan dengan anak pertamanya. Kini Putri telah berusia 6 tahun. Pagi – pagi dia sudah memasak dan menyiapkan sarapan buat putri dan Mas Win. Setelah itu, dia sendiri yang mengantar dan menjemput anaknya sekolah. Begitu seterusnya. Ia jalani rutinitas rumah tangga dengan senyum mengembang.
“Mama, tadi putri dipuji sama ibu guru. Putri mendapat nilai paling bagus dalam mengerjakan pe-er. Itu karena Mama selalu membantu putri mengerjakan pe-er. Makasih ya Ma,” Putri berkata sambil matanya bersinar-sinar. Tiba-tiba putri mendaratkan ciuman di pipinya.
Nadia terharu merasakan kehangatan itu mengalir ke seluruh pembuluh nadinya, hingga membuatnya merasa bahagia.
“Iya sayang?” jawabnya penuh cinta.
Ah putri… memang inilah yang Mama inginkan. Kau mendapatkan limpahan kasih sayang dan bimbinganku. Aku tak ingin masa laluku berulang padamu. Nadia memeluk putri dengan erat. Matanya berkaca-kaca.
“Mama kenapa? Tidak senang dengan ucapan putri?”
“Tidak sayang, Mama hanya bahagia mendengar ucapanmu.” Putri kembali memeluknya manja.
Andai putri tahu apa yang sesungguhnya ia rasakan. Semasa kecil, dia memiliki mainan apa saja yang tak mungkin dimiliki oleh anak – anak seusianya. Secara materi, ibunya siap melimpahkan itu padanya. Tapi kasih sayang? Dulu dia ingin sekali ibu ada waktu untuk mendengarkan cerita – ceritanya. Mengantarkannya sekolah, seperti teman-temannya yang lain. Dia sangat rindu untuk bermanja-manja. Tapi hingga dewasa, keinginan itu sulit terwujud. Itu karena ibu terlalu asyik dengan kariernya di rumah. Walau sisi positifnya Ia menjadi lebih mandiri. Namun disisi lain, ia pernah terjerumus ke hal-hal Yang negatif, seperti teman-temannya. Melampiaskan kekecewaan mereka dengan menenggak obat-obatan terlarang, bahan sempat hamil di luar nikah. Tidak! Dia tak ingin semua itu menimpa putri. Cukup sudah pengalaman dirinya, dan orang-orang di luar sana. Yang berujung pada kehancuran masa depan dengan prilaku negatif, karena kurang perhatian dang bimbingan
Mama dan teman temannya sudah jarang berkomentar. Mereka melihat keahagiaan itu menghampirinya dari hari kehari. Tak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Sampai musibah yang tak pernah diduga-duganya menghampiri. Mas Win mengalami kecelakaan. Motornya remuk dihantam oleh sebuah truk, yang datang secara mendadak. Mas Win terpental jauh. Kepalanya membentur aspal yang keras dan tajam. Hingga tak sadarkan diri sewaktu dibawa kerumah sakit. Nadia menanti di luar ruangan dengan harap-harap cemas. Menunggu kabar baik, bahkan buruk sekalipun tentang suaminya.
Tiba–tiba pintu terkuak. Seorang dokter paruh baya keluar dengan wajah yang serius. Membuat detak jantungnya semakin tak mau berhenti. Yah…ia gelisah! Begitu cemas!
“Ada kerusakan di sumsum tulang belakangnya, yang mempengaruhi urat sarafnya. Kemungkinan suami Ibu harus berada di kursi roda.” Oh Tuhan! Akan cacatkah suaminya?
“Sampai berapa lama dokter?”
“Harapan itu masih ada. Suami ibu harus menjalani terapi, agar dapat berjalan lagi. Tentunya membutuhkan waktu yang lama.” Sanggupkah ia kini? Ya Rabbi! berilah hambamu ini kekuatan, doanya tak henti henti.
Nadia berada di atas bus yang akan mengantarnya pulang. Hari hampir menjelang malam. Nadia memutuskan untuk bekerja. Walau ia merasa berat, dan sering mengalami quilty mom syndrome. Rasa bersalah, karena sering meninggalkan anaknya dan suaminya yang lagi sakit. Keuangan mereka sudah terdesak. Satu persatu barang berharga sudah terjual, termasuk kendaraan roda dua yang mereka miliki. Itulah sebabnya ia pulang pergi naik bus.
Seorang wanita berambut pendek, tanpa riasan mengenakan baju kaos dan celana panjang, menggelantung di pintu belakang bus. Sungguh menarik perhatiannya. Tak banyak wanita yang berani menjadi kondektur. Mungkin dia terdesak. Menghilangkan rasa gengsinya, demi sesuap nasi bagi keluarganya. Dan tetap survive dengan hidupnya. Sementara dia? Haruskah lembek dalam menjalani hidupnya yang sekarang? Tiba tiba dia merasa bersyukur masih bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak. Di sebuah kantor ber ac, walau dia harus memulai lagi kariernya dari awal.
Memang tak mudah menjalani hidup seperti ini. Disamping bekerja, dia harus mengurus putri dan suaminya, yang kini tidak normal keadaan fisiknya. Apalagi suaminya kini lebih sensitive dibanding dulu, sewaktu masih sehat. Nadia bisa merasakan kalau kepercayaan diri Mas Win terganggu akibat lumpuh yang dideritanya, yang lebih membutuhkan perhatian dan dorongan. Namun dia tak bisa memenuhinya karena kesibukannya. Dirinya kini tak ubahnya merpati yang kehilangan sayapnya. Namun dia harus kuat agar bisa tetap terbang mengarungi hidup yang penuh cobaan ini. Nadia berusaha menjalaninya dengan ketulusan hati. Serta mencoba berpikir positif untuk menerima semua ini.
Nadia sudah sampai dirumah lebih cepat dari biasanya. Dia agak terkejut mendapati ibunya tengah asyik bermain dan bercanda bersama putrinya. Wajah Ibu begitu bahagia. Belum pernah ia melihat wajah Ibu sebahagia ini. Nadia tak ingin mendekat, takut mengganggu mereka. Namun Ibu keburu melihatnya, dan menghampirinya.
“Nadia ,” ia mendengar Ibu memanggilnya dengan hati-hati.
“Sebenarnya Ibu kemari untuk menwarkan bantuan uang. Kamu pasti membutuhkannya.”
“Nadia belum merasa perlu Bu. Nadia kan sudah bekerja. Ibu simpan saja uangnya.”
“Kamu serius? Ibu tahu, kamu membutuhkan banyak biaya untuk berobat suamimu. Ambillah!” Ibu tetap menyodorkan sebuah amplop padanya. Nadia tetap menolak. Ada perasaan malu dihatinya. Mungkinkah Ibu ingin membuktikan padanya bahwa dulu dia melepas karirnya yang tengah menanjak, bukanlah pilihan yang tepat. Kalau ternyata kini dia menghadapi masalah seberat ini.
Takdir hidup siapa yang tahu. Sedikit pun tak ada rasa penyesalan dihatinya. Dia merasakan kebahagiaan di hari hari yang lalu. Dan berusaha untuk tetap bahagia dihari ini.
“Mengapa kau menolak Ibu? Apakah salah Ibu membantumu keluar dari kesulitanmu yang sekarang?” tiba-tiba wajah Ibunya berubah mendung. Tak urung, ia terkejut melihat reaksi Ibunya.
“Ibu hanya ingin kau mau memaafkan kesalahan Ibu, Nadia. Karena pernah membesarkanmu tidak dengan sepenuh hati.”
“Nadia sudah memafkan Ibu. Nadia yakin, Ibu tak bermaksud untuk bercerai dari ayah, hingga membuatku merasa sangat sedih waktu itu. Sudahlah Bu, buat apa diungkit-ungkit lagi,” Nadia berusaha untuk tegar di depan Ibunya. Biarlah semua ini menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya. Tiba-tiba timbul rasa penyesalan karena terus menerus menyalahkan Ibu. Walaupun hanya ia pendam di dalam hati. Apa jadinya bila Ibu tahu isi hatinya yang sangat sakit mendapati kedua orangtuanya berpisah disaat ia masih kecil. Hingga dia sempat menyimpan dendam yang cukup lama pada Ibunya itu.
“Dulu nenekmu juga pernah mengalami masalah seperti ini Kakekmu meninggal karena kanker. Dan nenek tidak punya biaya untuk terus mengobati kakek sampai sembuh. Ibu sangat sedih kehilangan kakekmu.”
Nadia mendengarkan cerita Ibunya dengan rasa tak percaya.
“Itulah sebabnya Ibu begitu berambisi untuk dapat hidup mandiri dan layak secara materi. Ibu tak ingin bila suatu saat kehilangan suami, tapi tak emmilki apa-apa seperti nenekmu. Karena rasa takut itulah Ibu lupa telah menelantarkanmu. Maafkan Ibu,” Ibu berkata dengan suara melemah. Lelah dengan hidup yang ia jalani selama ini. Nadia merasa sangat terharu.
“Ibu tak ingin kau menanggung sendiri bebanmu. Kamu bisa mengandalkan Ibu, Nadia,” Ibu berkata sambil berurai air mata.
Ternyata jauh dilubuk hatinya, Ibu tetaplah seorang Ibu yang mencintai anaknya. Bagaimanapun masalalunya, dia merasa wajib untuk berbakti dan memaafkan setiap kesalahannya.
“Baiklah Bu, aku akan menerimanya asalkan Ibu berjanji padaku.”
“Apa itu Nak? Ibu akan memenuhinya walau berat sekalipun,”jawab Ibu kembali bersemangat.
“Tidak berat kok Bu. Nadia hanya ingin Ibu sering kemari mengunjungi kami.”
Ibu tersenyum. Wajah mendungnya hilang. Berganti dengan wajah bahagia. Bahagia yang tak terlukiskan.
Medio oktober 2006
salam cinta untuk ketiga malaikat kecilku balqis, baim dan zakirah
dimuat di majalah paras
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
translasi
meninjau polling pengunjung
!-- Start of StatCounter Code -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar