novel yang diangkat dari kisah nyata
Senin, 05 April 2010
membeli laki-laki
Perasaanku campur aduk menjadi satu. Antara marah, juga malu. Meski Mande sangat senang karena Apaknya (adik lelaki Abak)berhasil mencarikan calon untukku. Marah, kenapa sih nasibku harus berakhir seperti ini? Malu, disaat usiaku sudah melewati kepala tiga, belum juga ada lelaki yang bersedia menikah denganku.
“Sudahlah, Pik. Apak kira, Mandemu bermaksud baik. Dia hanya khawatir anak padusinya hidup melajang terus.”
“Tapi Apak, tidak dengan cara seperti ini! Memangnya, Upik tidak bisa mencari sendiri sampai harus dijodoh-jodohkan? Sekarang kan, bukan lagi jaman Siti Nurbaya!”
“Kamu belum melihat calonnya Pik! Selain lulusan sarjana, dia juga seorang yang baik dan taat beragama. Meski sifatnya agak pendiam. Tapi Apak yakin, kamu bisa mengimbanginya setelah menjadi istrinya kelak.”
“Upik tetap akan mencari sendiri lelaki pilihan Upik, tanpa perlu dijodohkan seperti ini. Upik gengsi Apak!”
“Kamu tak perlu gengsi Pik. Ini baru tahap perkenalan saja. Bila hati Upik tak jua tertawan padanya saat dipertemukan nanti, yah tidak akan dipaksa.”
Aku hanya diam terpaku mendengar jawaban diplomatis dari Apak. Walaupun hatiku berontak karena merasa Apak terlalu jauh ikut campur dalam urusan pribadiku. Bukankah hati tak bisa dipaksakan? Tapi mengingat Apak sudah bersusah payah mencarikan lelaki yang pantas untuk menjadi pendamping hidupku, aku akhirnya menurut juga.
Aku sadar, bila aku tak segera menikah, Mande akan berkecil hati. Mengingat sudah lama Mande ingin menimang cucu dari anak semata wayangnya ini. Apalagi selama ini, Mande harus berjuang seorang diri dalam membesarkanku, hingga aku berhasil menjadi guru di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di Jakarta.
“Tugas Mande sebagai seorang ibu rasanya belum sempurna sebelum melihat kamu menikah Nak,” begitu selalu ucap Mande padaku.
Bukannya Aku tak pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Sebagai anak yang berbakti, dulu aku tak ingin menentang Abak.
“Abak hanya ingin melihat anak padusi Abak satu-satunya menikah dengan Urang Awak juo.”
“Kenapa harus dengan Urang Awak Bak? Lelaki yang bukan satu suku sama kita juga banyak yang berkualitas. Baik dari segi kepribadiannya, juga ibadahnya,” Aku mencoba mendebat Abak.
“Masalahnya tidak sesederhana itu Pik. Kalau kamu nanti menikah dengan lelaki yang bukan urang awak, maka kebanggaanmu sebagai anak padusi disuku kita akan musnah. Kamu kan tahu, orang padang pariaman menganut aliran matrilineal yang kuat.”
“Maksud Abak apa?”
“Dalam suku kita, anak padusilah yang dominan kedudukannya. Tak hanya menerima warisan lebih banyak dari anak laki-laki, juga…”
“Punya kuasa membeli laki-laki. Iya kan Bak?”
“Bukan membeli, hanya membayar uang lamaran karena pihak padusilah yang melamar.”jawab Abak tersenyum bijak.
Sungguh! Aku tak bisa lupa kata-kata Abak itu. Meski dihati kecilku, aku tak suka kalau dalam melamar pria pilihan hati, harus disesuaikan harga pinangannya dengan tingginya pendidikan dan jabatannya. Seperti sebuah barang saja, yang bisa ditawar-tawar. Tapi tradisi membeli laki-laki (membayar uang lamaran dari pihak wanita) masih berlaku sampai sekarang di suku Pariaman.
Suatu hari, ada urang awak yang senang padaku. Dan akupun tertarik padanya, karena pribadinya yang ramah dan supel. Tapi nasib baik tak berpihak padaku. Lelaki yang kukira serius menjalin hubungan denganku itu, ternyata tak bersedia untuk diajak berumah tangga, dengan alasan belum siap.
Aku pikir, dia hanya ingin bersenang-senang saja denganku. Setelah hampir dua tahun kami bersama, tak jua ada kepastian darinya untuk mengikat hubungan kami dalam sebuah lembaga yang bernama pernikahan. Akhirnya, kutinggalkan lelaki yang tak memiliki komitmen itu.
Tak lama kemudian, akupun berkenalan dengan seorang lelaki yang benar-benar memenuhi kriteria dimataku, juga dimata Abak. Selain pintar, tampan, dan tekun beribadah, dia masih keturunan urang awak juga. Kepribadiannya juga baik dan menarik. Dan yang terpenting, dia serius untuk menjadikanku sebagai istrinya.
Namun, siapa yang bisa melawan takdir! Satu bulan sebelum pernikahan, lelaki yang kuharapkan bisa menjadi imamku itu, dipanggil Tuhan dengan cara yang sangat mengenaskan. Mati tertabrak mobil saat pulang dari kampung halamannya. Ketika ingin meminta restu dari kedua orang tuanya.
Abak pun menghibur hatiku dengan mengatakan mungkin dia bukanlah jodohku.Hingga Aku bisa kembali menjalani hari-hariku dengan hati yang lapang. Setelah sebelumnya tak bisa menerima kenyataan, akibat rasa terpukul yang amat dalam. Tapi sekarang, Abak tak lagi bisa menghibur hatiku yang sangat kesepian, karena masih sendirian diusiaku yang sudah sangat matang untuk menikah.
Pagi ini aku harus bersiap-siap untuk mengikuti Mande ke rumah calon suamiku. Tak ada salahnya aku mengikuti ajakan Mande, demi menyenangkan hatinya. Soal aku bersedia atau tidak, itu perkara nanti. Yang penting, aku bisa melihat lagi rona bahagia diwajah Mande. Setelah sekian lama tak aku dapati keceriaan diwajah keriputnya.
Dalam hati, aku merasa sangat bersalah bila kali ini tak bisa memenuhi harapannya. Sebagaimana aku juga menantikannya. Masalahnya, aku tak mudah untuk berbagi cinta dengan seorang pria. Siapa sih yang tak ingin hidup berbahagia sampai kakek-nenek dengan orang yang ia sayangi?
“Upik! Udah belum dandannya? Nanti kita kesiangan sampai dirumah Bagindo Sulaiman,”ucap Mande dari luar kamar.
“Sebentar Mande. Upik lagi membenarin kerudung,”jawabku sambil menarik nafas yang dalam.
Tampaknya, Mande sudah tak sabar ingin segera bertemu calon mantunya. Semoga Allah mengabulkan doa-doa Mande agar aku segera mendapatkan pendamping. Walaupun dengan cara seperti ini. Terus terang, aku sendiri tak lagi mempermasalahkan kesendirianku. Bagiku, jodoh sudah ada yang mengatur. Mau nikah di usia kepala empat
sekalipun, tak menjadi soal bagiku. Namun, Mandelah yang menjadi beban pikiranku. Aku tak ingin lagi mengecewakan hatinya yang lembut dan penuh kasih itu.
Dengan tergesa-gesa aku keluar dari kamar, saat Apak ikut memanggilku. Dia juga tengah menungguku diluar. Rencananya, kami akan pergi naik mobil kijang miliknya. Begitu sudah berada didalam mobil, Mande tak pernah berhenti menatapku dengan wajah sumringah..
“Begitu mengenal Zainal, kamu pasti jatuh hati Pik,” ucap Mande sambil melirikku. “Dia anak yang sopan dan hormat sama orang tua.”
Aku hanya diam membisu. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku kehilangan kata-kata. Mungkin aku kelewat nervous. Jantungku masih berdegup kencang meski aku telah berusaha sekuat tenaga menetralisir perasaan gugupku. Ketika mobil Apak sudah memasuki halaman rumah Uda Zainal, jantungku semakin bertambah kuat degupnya.
Ya Tuhan…hilangkanlah kepanikan didalam diriku. Panik, kalau-kalau perjodohan ini tak berjalan seperti yang aku dan Mande harapkan.
“Pik…kamu tak perlu cemas. Semuanya akan berjalan dengan baik,” Apak berkata setelah kami turun dari mobil. Seolah mengerti apa yang tengah kurasakan.
“Iya Apak. Upik tahu apa yang terbaik buat hidup Upik.” Akupun kembali tersenyum sambil menggamit tangan Mande untuk segera mendekati rumah bercat biru laut didepanku. Begitu sampai di depan pintu, Mande mengucapkan salam. Tak lama kemudian, keluarlah seorang wanita yang kutaksir umurnya tak jauh beda dengan Mande.
“Ini si Upiak?” Amboi, Rancak bana Wa-ang! Anak Ambo pastilah tertarik.”
Aku hanya tersipu-sipu malu mendengarnya. Dengan ramah, wanita tua dihadapanku mempersilahkan kami masuk. Dengan sedikit enggan, aku mengikuti Mande duduk di kursi ruang tamu. Tanganku rasanya dingin semua. Bagaikan seorang terdakwa yang duduk di kursi persidangan. Menunggu nasib hidupku selanjutnya, yang sebentar lagi akan diputuskan.
Lalu, menit-menit berikutnya kami menunggu seorang pria yang sebentar lagi akan keluar menemui aku, Mande dan Apak diruangan ini. Sedangkan wanita ramah tadi masuk kedalam. Mungkin segera memanggil anak lelakinya. Tak lama kemudian,
“Iko Zainal anak Ambo yang paling tuo.” Laki-laki didepanku tersenyum manis kearahku, sebelum akhirnya duduk berhadapan denganku. Tak kuduga, wajahnya sangat tampan! Mirip bintang film KCB 2, dengan janggut tipis didagunya. Dalam hati, aku bersorak penuh kegirangan. Apak memang jempolan dalam mencarikan calon untukku. Selera Apak benar-benar tinggi! Tapi, apa dia juga suka denganku. Akh…kita lihat saja nanti, ucap suara didalam batinku.
“Memangnya, Uda belum pernah punya kekasih sebelumnya? hingga diusia 35 tahun belum menikah,” tanyaku saat kami sedang ngobrol berdua saja. Sementara Mande dan yang lainnya pergi keruangan lain. Mungkin sengaja, agar kami bisa saling mengenal lebih dekat lagi.
“Yah, begitulah! Bukannnya tidak ada yang mau hanya saja, Uda kelewat sibuk bekerja, hingga tak punya waktu buat pedekate dengan seorang gadis,” jawabnya serius.
“Upik sendiri bagaimana?” tanyanya lagi dengan hati-hati.
“Terus terang, Upik pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan seorang pria. Tapi semuanya tak pernah sampai ke pelaminan.” Aku pun menceritakan pengalaman pahitku padanya. “Mungkin belum berjodoh Da,” aku mengakhiri ceritaku dengan perasaan sendu.
“Mudah-mudahan kita berjodoh ya, Pik,” ucap Uda Zainal spontan. Aku yang mendengarnya tak urung menjadi malu. Wajahku pun bersemu merah, karena berbunga-bunga. Amin…doaku didalam hati. Tak terasa, hampir dua jam Aku dan Uda berbincang-bincang. Kami pun segera pamit pulang.
Ternyata, Uda Zainal asyik diajak bicara, meski orangnya serius dan agak pendiam. Dan aku berusaha untuk terus memancing pembicaraan, agar suasana tidak bertambah kaku. Dan hari-hari berikutnya kami saling ngobrol lewat telepon genggam. Sebab Uda Zainal orang yang sangat sibuk. Hatinya pun semakin tertawan dengan Uda Zainal. Begitu juga sebaliknya. Uda Zainal mengaku serius berhubungan dengannya.
Hingga disuatu hari yang cerah, aku mendekati Mande. “Jadi, kapan kita membeli Uda Zainal Mande,” tanyaku tak sabar.
“Apa maksud Upik?”
“Memang, Mande belum menanyakan berapa harga pinangan yang harus kita bayar untuk melamar Uda Zainal?” tanyaku sekali lagi dengan penasaran.
“Itulah masalahnya Pik! Mereka tidak mau menerima uang lamaran yang Mande ajukan,” jawab Mande dengan serius.
“Masak hanya gara-gara tak cocok harga mereka menolak kita Mande! Upik tak mau patah hati lagi, karena urung menikah untuk yang ketiga kalinya,” tanpa dikomando, akupun menangis sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Herannya lagi, Mande bukannya menghiburku, malah tertawa tergelak-gelak.
“Pik, Pik… Mande kan belum selesai bicara, kok kamu langsung tersurut begitu. Zainal itu memang orang padang, tapi bukan padang pariaman. Jadi, merekalah yang melamar kamu, bukan kita. Dan besok, akan datang iring-iringan pelamar dari keluarga si Zainal. Kamu siap-siap aja.”
Duh! Betapa malunya aku. Karena begitu inginnya menjadi istri Uda Zainal, sampai-sampai menyuruh Mande agar segera membelinya. Bagaikan benda yang sangat berharga. Dan benda berharga itu adalah cinta Uda Zainal padaku.
Catatan :
Mande : Ibu
Abak : Ayah
Padusi : anak perempuan
Uda : abang
Urang awak : suku kita
Rancak bana wa-ang : cantik sekali kamu
Ambo : Aku
Iko : ini
Paling Tuo : anak pertama/sulung
dimuat di annida-online
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
translasi
meninjau polling pengunjung
!-- Start of StatCounter Code -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar