novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Selasa, 17 Desember 2013

Menjadi Pendidik Yang Mendidik Dengan Hati

Saya pernah mendengar seorang teman mengeluhkan bahwa anaknya tidak lagi mau pergi kesekolah dan akan menangis bila tetap disuruh berangkat. Usut punya usut ternyata anaknya takut dan masih trauma dengan sikap gurunya yang galak dan suka memukul murid bila berbuat salah atau tidak mengerjakan pe-er. Mendengar ceritanya saya jadi tak habis pikir kok masih ada guru dijaman sekarang yang masih bersikap primitif seperti itu dalam mengajar. Padahal keberhasilan proses belajar mengajar bisa didapat bila ada respon yang baik dari kedua belah pihak yaitu dari murid dan guru.  Kalau gurunya saja sudah membuat anak muridnya takut, bagaimana bisa ilmu ditanamkan kehati anak didiknya dengan baik? Yang ada murid-muridnya trauma bila harus diajar olehnya. Selain itu wibawa guru didepan murid juga akan jatuh.  




 Pantaslah seorang pengamat anak Kak Seto Mulyadi sendiri pernah mengatakan bahwa mendidik anak tidak perlu dengan kekerasan dan kekasaran. Mendidik itu dilakukan dengan hati. Kalau anak diajari dengan kasar dan kekerasan, anak tidak akan tumbuh sebagai pembelajar sejati dalam hidupnya. Jadi para pendidik harus terus belajar dan berpikir secara kreatif dalam mengajarkan ilmu kepada anak-anaknya secara menyenangkan. Jika hal ini terus menerus diasah, maka anak akan tumbuh menjadi seorang pembelajar yang sejati. Anak-anak akan memahami betul apa makna belajar, yaitu berusaha memahami, merasakan dan menyelesaikan sebuah permasalahan. Tentu saja sebagai pendidik baik itu guru maupun orang tua karena pada dasarnya kita semua adalah pendidik harus terlebih dulu membersihkan hati dari bibit2 dosa yang mampu mengotori hati. Karena bagaimanapun fungsi hati akan lebih maksimal kerjanya bila sudah bersih. Sebagaimana telah Rasulullah sebutkan dalam hadistnya




“Ingatlah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Bila segumpal daging itu baik, seluruh tubuh akan menjadi baik. Tetapi bila ia rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuh. Segumpal daging itu bernama Qolbu. (HR Bukhari dan Muslim)

Pentingnya mendidik dengan hati karena hati adalah dasar dari pemikiran. Bila baik hatinya maka baiklah pikirannya. Jadi salah besar bila kita lebih menjejali otak anak dengan nilai-nilai akademik yang tinggi semata sementara hatinya tetap kita biarkan kering dan gersang. Padahal ilmu pengetahuan sendiri berhasil membuktikan bahwa kualitas elektromagnetik jantung (hati) 5000 kali lebih kuat daripada otak. Lantas, mengapa kita hanya  berpikir untuk memaksimalkan potensi otaknya saja yang jauh lebih sedikit kualitasnya dari potensi/kekuatan hati? Tapi kebanyakan kurikulum pendidikan sekarang kurang menekankan pendidikan karakter seperti ini dan hanya menitikberatkan pada nilai akademik saja sehingga lahirlah generasi yang hanya cerdas intelegensi tapi kurang cerdas dalan emotional dan spiritualnya.
Dalam workshop mendidik dengan hati yang saya ikuti ternyata menjadi Pendidik yang bisa  mendidik dengan hati kita perlu tahu rahasianya yaitu:

* Meluruskan niat. Sebagaimana disebutkan dalam QS 29: 69 “ Dan orang-orang yang sungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan ) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan. Sehingga bila meniatkan karena Allah maka kerja adalah
-    Ibadah
-    Memberi yang terbaik karena Allah
-    Aktualisasi potensi diri
-    Rahmat dan syukur
-    Ladang amal dan tiket ke surga

*. Melihat dan memaknai suatu persoalan dengan hati. Jadi seburuk apapun suatu kejadian, bila dilihat dengan hati yang positif dan pikiran yang positif maka hasilnya akan positif. Sebagaimana I Ching berkata  “ Peristiwanya tidaklah penting, tetapi respon terhadap peristiwa itu adalah segala-galanya.”

* Mendengar suara hati anak didik  yaitu anak ingin perasaan hatinya didengarkan, dikenali, diterima, dimengerti dan dihargai. Untuk itu perlu memantaskan diri sebagai pendidik. Yang memiliki 9 kepribadian yang diinginkan anak diantaranya

1. Berjiwa tulus dan ikhlas
2. Penuh kasih sayang pada anak
3. Memiliki sikap amanah dan tanggung jawab
4. Memiliki kesabaran dan rasa syukur
5. Berpikiran maju
6. Cerdas
7. Kreatif
8. Penuh Keteladanan
9. Dan mampu melayani anak dengan hati

*. Efektif merubah perilaku anak. Tentunya dimulai dari diri sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam QS As-Shaff ayat 2 dan 3 “ Hai orang orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Jadi kita haruslah bisa menjadi teladan bagi anak.

*. Mampu menyelesaikan persoalan hidup. Kita harus waspada dalam mengasuh anak, jangan sampai salah asuh.  Buckminster Fuller berpendapat Pada dasarnya semua bayi dilahirkan cerdas; 9.999 dari setiap 10.000 bayi itu dengan begitu cepat, dan sembrono dijadikan tidak cerdas bagi orang-orang dewasa. Terbukti kita dapati banyak anak-anak jenius dan berbakat yang tidak menjadi apa apa karena salah asuh oleh orang-orang dewasa, terutama oleh orang tua dan gurunya dikarenakan ketidak mengertian mereka. Tragis bukan? Dalam bukunya Hypno Heart Teaching Alpiyanti sendiri mengatakan bahwa peran pendidik diharapkan mampu menggali, mengenali, melatih, mendidik, dan mengembangkan potensi-potensi yang bersifat potensial tersebut menjadi kekuatan personal bagi peserta didik itu sendiri sehingga ia menjadi dirinya sendiri yang mandiri untuk orang lain dan kehidupannya.

Dengan demikian perlu bagi kita sebagai pendidik untuk dapat mengembalikan ruh pendidikan ke rel yang sebenarnya.  Sebagaimana Rheinal Kasali mengungkapkan kekhawatirannya “Benarkah cara-cara yang ditempuh disekolah sekarang akan melahirkan manusia-manusia hebat? Manusia hebat bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi-tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik. Kalau ini sudah jelas, buat apa membuang waktu sia-sia.?”

 Belum lagi kita jumpai masih ada  pendidik sering menggunakan kata-kata yang tidak patut yang cenderung membelenggu kreativitas anak. Seperti kata-kata “ bodoh, nakal, malas, ancaman “ kalau tidak belajar tidak naik kelas” atau tidak lulus dsb. Padahal kata-kata memiliki kekuatan yang dahsyat. Untuk itu betapa penting kata-kata yang positif karena bila diucapkan dengan tulus dan baik kepada anak akan membuat mereka merasa nyaman, bahagia, terinspirasi, menyembuhkan dan memberi semangat bahkan dapat mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Kita bisa melihat kisah Andy F Noya seorang pemandu acara TV yang sangat inspiratif dimana Kick Andy selama bertahun-tahun berusaha mencari keberadaan guru SD nya Ibu Ana. Rupanya sosok Ibu Ana begitu melekat di hatinya karena pernah menghiburnya dengan kekuatan kata-kata” Andy, kamu anak pandai, kamu tak perlu cemas dengan kepandaianmu mengarang, Bu Ana yakin kelak engkau akan menjadi seorang wartawan yang Handal!



Ternyata setelah berpuluh-puluh tahun Andy benar berhasil menjadi wartawan handal. Ternyata menurut Andy kata-kata Bu Ana telah mampu membangkitkan kepercayaan dirinya.  Sehingga ketika Andy dapat bertemu kembali dengan gurunya itu, ia menangis sambil mengucapkan terima kasih. Luar biasa sekali. ...
Selain mendidik dengan qalbu, sebagai pendidik baik orang tua maupun guru, perlu mengetahui bahwa  setiap anak dilahirkan dengan beragam karakter dan potensi yang ada. Tugas kitalah sebagai orang tua untuk bisa mencetak anak agar bisa menjadi bibit unggul yang mampu memimpin di masa depan dengan mendidiknya untuk bersikap mandiri, percaya diri, rendah hati, jujur, kritis memiliki kecerdasan spiritual serta emosional dan memiliki karakter tangguh dan baik lainnya.

Intinya untuk menjadi pendidik yang mendidik dengan hati sangat penting mendengarkan suara hati anak didik  yang ingin didengarkan, dikenali, diterima, dimengerti dan dihargai selain meluruskan niat. Sehingga bila niatnya mendidik karena ibadah, maka akan berusaha memberi yang terbaik pada anak didik  karena Allah.





artikel ini diikutkan dalam #postif parenting lomba blog nakita


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut