novel yang diangkat dari kisah nyata

novel yang diangkat dari kisah nyata

Selasa, 16 Juli 2013

Perjalanan ‘Si Rendang’





 Sebagai cucu pertama, nenek  selalu memperlakukan Uda Wan dengan istimewa. Gimana enggak! Sedari kecil bila Uda mau Makan, nenek selalu menghidangkan rendang. Bahkan kerap nenek menyimpan rapat rendang kesukaan Uda  agar tak dimakan oleh adik-adiknya. Tak heran setelah Uda  menikah pun  rendang harus tersedia di atas meja. Celakanya lagi istri Uda yang berasal dari suku Jawa, tidak mahir memasak rendang. Tapi demi memenuhi selera suami tercinta, istrinya rela berburu resep rendang kemana pun juga. Bahkan dengan sabar istrinya menimbang setiap bahan agar jangan sampai kelewat 1 gram pun dari ukuran yang tertulis di buku resep. Hasilnya? Tadaaaa...!!!

“Mengapa rasanya jauh berbeda dari rendang buatan (alm) nenek?” Protes Uda. Tak habis akal Uda pun mengkursuskan istrinya ke saudara yang pintar memasak rendang juga. Minimal rasanya gak jauh bedalah dengan rendang buatan nenek tercinta. Aku pikir nenek pasti punya alasan tersendiri. Mungkin nenek ingin cucu pertamanya mencicipi resep andalannya yaitu rendang. Perlu pembaca ketahui, akibat rendang buatan neneklah restoran Abak mencapai puncak kejayaannya. Yah, ibaratnya rendang adalah masterpiece restoran kami. Uniknya lagi selain rasa rendang nenek yang jauh lebih enak dengan rendang lainnya (red: kalau kata pak Bondan Winarno sih ’maknyus’) ritual memasak nenek juga lain dari tukang masak yang lainnya. Bahkan tak akan ditemui pada “master chef” sekalipun hehehehe.

Yah, selain menyiapkan bumbu-bumbu komplit hasil racikannya sendiri, nenek juga menyiapkan “jampi-jampi”. Eits! Jangan su’uzon dulu. Jampi-jampi nenek bukanlah sejenis sihir atau pelet agar rendangnya laku. Nenek hanya membacakan doa-doa yang di ambil dari Al-qur’an. Mungkin dalam doanya nenek meminta  keberkahan.

Ritual menghidangkan Uda makan tak pernah hilang. Meskipun tak selamanya ada rendang. Hal itu tetap terjadi saat restoran kami terbakar hingga ekonomi keluarga mengalami pailit. Disusul tak lama kemudian Abak meninggal dunia Akan tetapi berkat kesabaran dan ketekunan Uda jugalah perlahan-lahan ekonomi keluarga kami terangkat naik kembali,  sehingga semua adik-adiknya termasuk saya, bisa berkuliah ke Pulau Jawa.

Yah, meminjam filsafah rendang yang butuh kesabaran dalam menggodok rendang hingga berjam-jam agar hasilnya sempurna, Uda juga melalui proses yang tidak sebentar untuk mencapai sukses hingga berhasil mendirikan perusahaan sendiri. Jauh sebelum Uda berhasil, beliau pernah merasakan ejekan sanak saudara ketika mengangggur begitu tamat dari kuliah. Dibilang “sarjana pak ogah” lah, atau “buat apa jadi sarjana kalau akhirnya gak bisa kaya?”dan ejekan-ejekan lainnya.



Kesabaran Uda kembali diuji ketika mendapati beasiswanya dibatalkan. Rupanya selidik punya selidik ada permainan uang dari perwakilan lembaga yang memberi Uda beasiswa. Namun  usaha dan kerja keras Uda akhirnya terbayar juga. Beliau kembali mendapat bea siswa untuk sekolah ke luar negeri di bidang Manajemen Bisnis. Lagi-lagi Uda tak ingin berpindah rasa dengan meminta dikirimin rendang meskipun telah mencicip aneka kuliner luar negeri.

Dilemanya ketika Uda tak mau berpantang makanan berlemak dan bersantan terutama rendang. Padahal dokter telah mewanti-wanti saat Uda divonis terkena kanker hati. Memang selama ini kesukaan Uda pada rendang dan masakan Padang tak diimbangi dengan pola hidup sehat yaitu olahraga dan makan-makanan berserat. Uda memang anti makan sayuran. Tak dinyana, akhirnya perjalanan ‘si rendang’ untuk terus menemani Uda Wan sahabat sejatinya harus berakhir. Setelah  dua tahun menjalani pengobatan Uda pun tak bisa bertahan Tepat di bulan kelahirannya Uda Wan pergi untuk selama-lamanya. Namun Uda Wan dan rendang akan terus hidup di tengah keluarga kami.

dimuat di rubrik pelangi majalah paras edisi juni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

translasi

meninjau polling pengunjung

!-- Start of StatCounter Code -->

Pengikut