" TEETT…Teeettt…..!"
Bis
berwarna kuning kemerahan segera berhenti tepat di depan sebuah halte
ketika mendengar suara bel dari kursi salah satu penumpangnya. Seorang
wanita berbalut mantel berbulu bergegas turun dengan langkah gesit.
Melihat ke kiri dan kanan dengan wajah lelah sebelum menyebarang jalan
untuk menuju ke apartemen mungilnya..
Kehangatan mulai menyergap tubuhnya begitu memasuki
apartemen. Setelah beberapa menit tubuh langsingnya bergelut dengan
udara dingin di sepanjang jalan kota Auckland. Tapi tidak dengan hatinya
sejak ditinggal Eki suaminya, yang memilih pindah apartemen.
Hal
pertama yang dilakukannya adalah menuju dapur sambil membawa sekantung
buah yang baru saja ia beli di supermarket Two Double Seven. Salah satu
supermarket terbesar di kota Auckland. Sebelum ia menuju kamarnya yang
lengang tanpa suara dan sambutan hangat Eki seperti biasanya. Memilih
dan mengupas buah yang kulit dan rupanya mirip sawo itu dengan sepenuh
cinta untuk ia buat jus yang menyegarkan.
Gold kiwi lebih ia
sukai daripada Green kiwi. Selaian rasanya yang lebih nikmat, ada bonus
tambahan yaitu vitamin E yang lebih tinggi untuk kecantikan kulitnya.
Sebagaimana dirinya yang selalu mengejar bonus tambahan jam kerja agar
dolarnya juga bertambah. I love it! Di tengah aroma kiwi yang unik,
terngiang-ngiang kembali perkataan Eki sebulan yang lalu.
"Kapan
tabungan kita bisa penuh, kalo terus kamu kirimkan ke Bandung? Aku
kecewa padamu dalam hal mengatur keuangan rumah tangga kita. Tak mungkin
kan, seumur hidup kita bekerja keras terus di negeri asing?" protes Eki
di tiga tahun usia pernikahan mereka.
Deg! Serasa beribu-ribu
benda tajam menusuk ulu hatinya di tengah kebimbangan akut. Siapa yang
harus ia pilih? Keluarganya atau suaminya? Akh, terlalu sulit sebab
keduanya bukanlah untuk dipilih.
Tapi untuk diajak bekerja sama
agar bisa mengerti dirinya. Mamanya dan adik-adiknya yang selalu
menuntut uang untuk biaya hidup karena terbiasa hidup enak ataukah Eki
suaminya yang gajinya tak setinggi dirinya.
Sehingga dia harus lebih bekerja ekstra demi kelangsungan keuangan rumah tangga mereka dan keuangan keluarganya.
Dulu
selama ayahnya baru menjabat sebagai pengacara, fasilitas hidup mereka
terasa membuai. Rumah besar, mobil kantor dan gaji ayah yang lumayan.
Namun semua fasilitas dan kemewahan hidup melayang sejak ayahnya tak
pernah mau menerima uang sogokan. Yah, sebagai pengacara ayahnya kelewat
lurus.
Bagi ayahnya bekerja adalah sebuah kecintaan dan
pengabdian, bukan semata-mata karena uang. Sepeninggal ayahnya, prinsip
itu terus ia pegang dengan mencari uang secara halal meski harus
membanting tulang.
Dia kembali asyik dengan kiwi di tangannya.
Meskipun bayang-bayang kepahitan hidup terus mengganggunya. Pertama kali
mengenal dan merasakan khasiat buah kiwi yang dahsyat, dia mulai jatuh
cinta karena merasakan adanya kecocokan dengan buah unik ini.
Kandungan
antioksidannya yang tinggi dan vitamin C nya yang dua kali lipat lebih
banyak dari buah yang lainnya memang sangat dibutuhkan untuk stamina
tubuhnya yang sering bekerja di luar batas.
Sayangnya mengapa
tak secocok dirinya dengan Eki? Terutama dalam hal keuangan. Lelaki yang
telah mampu membuatnya jatuh cinta dibanding lelaki-lelaki yang selama
ini pernah mengejarnya. Eki memang beda, karena berani meluluhkan hati
seorang wanita yang kelewat mandiri dan tangguh seperti dirinya. Akibat
terus ditempa oleh hidup yang tidak ringan.
Sementara lelaki
lain memilih mundur teratur karena menganggap dirinya adalah wanita yang
tak membutuhkan pendamping. Wanita yang tak umum di mata pria yang
hanya beranggapan bahwa wanita adalah makhluk lemah yang harus selalu
dilindungi dan dijaga bak porselen. Sementara dirinya terbiasa
memecahkan semua persoalan hidupnya sendirian.
Tapi benarkah demikian? Sejatinya dia juga seorang wanita yang butuh penguatan dari seorang pria sejati.
Tapi
untuk detik ini dia tak butuh Eki ataupun mesin penghangat apa pun
untuk kembali membuat hatinya yang dingin menjadi panas kembali oleh
semangat yang membara. Yang dia butuhkan hanyalah segelas jus kiwi yang
segar dan menggoda. Meskipun tak ia pungkiri kehadiran Eki dalam
hidupnya semakin membakar geloranya, terutama dalam bekerja.
Namun
Eki sendiri juga yang berusaha melumerkan kehangatan itu lewat sikapnya
yang lebih dingin dari salju negara manapun di musim dingin yang
menggigit. Hingga kengiluan yang teramat perih mengalir di sekujur tubuh
ringkihnya.
Dia benar-benar butuh pertahanan lebih untuk
raganya yang mulai membeku kedinginan dan terkepung keletihan yang amat
sangat akibat bekerja lembur beberapa hari ini.
Jangan sampai
fisiknya ambruk karena kurangnya suplemen penting penopang hari-harinya
selama di negeri orang. Pilihannya jatuh pada suplemen alami yaitu buah
yang bertekstur halus dengan rasanya yang unik. Buah dengan perpaduan
rasa manis dan asam yang sempurna. Seunik asam manisnya cinta yang ia
alami. Yah, Buah Kiwi! Buah yang namanya diambil dari nama burung yang
tak bisa terbang dari Selandia Baru. Yang menjadi simbol nasional negara
persemakmuran ini.
Cerita hidupnya sendiri dimulai ketika ia
memutuskan untuk pergi ke Auckland karena desakan ekonomi. Setelah puas
mengadu nasib sebelumnya di negeri Jiran Malaysia dan Hongkong sebagai
Babu.
Tapi sesampainya di negeri Kiwi tak mudah untuk segera
mendapatkan pekerjaan. Tak seperti di Malaysia atau Hongkong yang banyak
membutuhkan tenaga rumah tangga. Di Auckland pekerjaan seperti itu
jarang ada lowongan. Paling banyak diterima sebagai tukang cuci piring
atau chef. di restoran-restoran. Pernah hampir 3 hari ia berkeliling
berjalan kaki mencari pekerjaan.
Sampai akhirnya di sebuah cafe
Turki di daerah ponsonby ia diberi kesempatan untuk dipekerjakan sebagai
tukang cuci piring. Ia ingat, malam itu malam Sabtu, weekend, restoran
lumayan ramai.
Perihnya ia yang tidak punya pengalaman sama
sekali hingga jadi bulan-bulanan. Diperintah dengan nada yang tinggi,
dibentak, dimaki-maki karena tidak tau cara mengoperasikan dish washer.
Ia juga disuruh bekerja lebih cepat, lebih cepat lagi. Padahal sudah
setengah mati ia berusaha untuk bekerja secepat yang ia sanggup.
Setelah
semua pekerjaan selesai-- piring-piring dan semua perkakas bersih--
sampah-sampah sudah dibungkus rapi dan diletakkan di tempat
sampah--seluruh lantai yang lumayan luas sampai dengan toilet sudah
mengkilat ia pel, dengan entengnya mereka mengatakan padanya bahwa ia
tidak dapat bekerja lagi di tempat itu. Ternyata mereka hanya
memanfaatkan tenaganya saja! karena tukang cuci piring mereka yang juga
orang Turki tidak datang malam itu.
Tragisnya lagi ia sama
sekali tak diberi upah atas kerja kerasnya malam itu. Akhirnya dengan
keadaan keuangan yang masih tak menentu, ia hanya bisa tinggal di lantai
atas sebuah toko milik seorang imigran dari Afghanistan yang berada di
daerah Queen Street. Tempatnya lusuh dan tidak terawat, hanya saja
lapang dan dapat ditiduri banyak orang. Jadi ia bisa menghemat
pengeluaran untuk tempat tinggal karena cara membayar sewanya secara
keroyokan tiap minggunya.
Sampai akhirnya keberuntungan berpihak
padanya. Seorang teman yang berasal dari Jakarta, menawarinya pekerjaan
untuk menggantikannya sebagai Kitchen Hand. Meski sedikit senang karena
akhirnya mendapatkan pekerjaan, ia bertekad untuk memperbaiki nasib!
Bukan hanya karena tangannya sering bengkak akibat mencuci piring
seharian-- sebab ukuran piringnya yang jauh lebih besar dari piring di
negerinya.
Alasan lainnya tak mungkin selamanya ia menjadi
tukang cuci piring di negeri orang. Harus terjadi perubahan agar
penghasilannya meningkat. Untuk itulah di tengah mengurusi piring-piring
yang kotor, ia sempatkan untuk belajar memasak pada Paul, chef senior
restaurant.
Akhirnya kesempatan itu datang juga padanya.
Ternyata buatannya dipuji oleh head chef. Sejak itu ia dipercayakan
untuk mengolah aneka dessert dan muffin untuk breakfast. Sampai akhirnya
ia bisa membuat bermacam-macam aneka dessert, muffin dan cake. Dia pun
terus mengolah keahliannya sebagai chef baru.
Disamping ilmunya
ia dapatkan dari para chef, ia juga rajin browsing resep lewat internet
dan mencobanya di kitchen berdasarkan kreatifitasnya sendiri. Dan
hasilnya benar-benar tidak mengecewakan.
Otomatis setelah
menjadi chef, penghasilannya meningkat jauh lebih tinggi dari
penghasilannya selama menjadi kitchen hand alias tukang cuci piring.
Akhirnya ia dapat mencicil hutang-hutangnya, mengirimkan sebagian
gajinya ke Bandung dan mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit untuk
ditabung. Di tengah dia mengiris - iris Gold kiwi tiba-tiba "beb
…beb…bebbbbb", Hp nya berbunyi. Setengah malas ia mengangkatnya.
"Oh Mama. Ada apa Ma?." Kira-kira apalagi nih, batinnya lesu.
"Dira,
adikmu Tedi masuk penjara.karena kasus narkoba. Kita harus segera
menebusnya Dira. Mama takut sekali bila dia harus lama mendekam di
sana," isak suara Mamanya nun jauh di sana.
"Iya Ma segera," jawabnya malas.
Niatnya
untuk membuat jus kiwi murni, akhirnya berubah haluan. Di tengah
gemuruh nafasnya yang memburu karena rasa marah, dia segera mengeluarkan
aneka sayuran dan buah lainnya sebagai campuran.
Sebelum di
jus, terlebih dulu sayuran mentah seperti wortel, sawi daging, dan buah
beetroot untuk menurunkan tekanan darahnya yang mulai meninggi ia rendam
dalam air dingin yang diberi sedikit garam dan perasan jeruk nipis
selama 5 menit. Harapannya, dengan banyaknya campuran, rasa asam pada
kiwi akan semakin tersamarkan. Bagaimanapun, dia harus bisa meminimalkan
asam pahitnya kehidupan yang kini ia jalani.
Sekali lagi ia dapatkan bonus tambahan karena Raw Juice juga berguna untuk mencegah berkembangnya radikal bebas dalam tubuh.
Minuman
yang tak boleh ia sia-siakan! Alhasil, dia berhasil menyaksikan
irisan-irisan buah dan sayur hancur dibantai oleh blender kapasitas
tinggi dengan rasa puas. Sebagaimana hidupnya yang terus dibantai oleh
masalah. Sudah ia duga akan begini jadinya. Jauh sebelum diperingatkan,
Tedi adiknya tak pernah menuruti perintah keluarga termasuk dirinya,
agar jangan main-main dengan obat haram tersebut. Tapi bukan Tedi
namanya kalo belum kena batunya dia tak akan pernah berhenti.
"Sekarang
tanggunglah sendiri akibatnya," umpatnya kesal. Dia tak mau
mengeluarkan uang sepeser pun demi kebebasan Tedi. Masalah Mama adalah
urusan belakangan. Sekaranglah saatnya keluarganya harus tahu bahwa uang
yang ia peroleh selama ini adalah hasil kerja keras, bukan untuk
dihambur-hamburkan. Biar Tedi juga bisa merasakan sulitnya mencari uang
dari hasil keringat sendiri.
Selama ini dia mengira dengan
selalu menuruti kemauan keluarganya untuk mengirimkan sejumlah uang yang
jumlahnya kian meningkat seiring pendapatannya yang terus melambung
adalah salah satu cara untuk bisa berbuat adil. Nyatanya? Dia tak pernah
adil pada dirinya sendiri. Sudah saatnya dia memperhitungkan
kebahagiaan hidupnya sendiri.Yah, hidupnya tak harus selalu merasakan
asamnya saja, tapi butuh yang manis juga.
Dan kebahagiaan hidup
bersama Eki adalah sesuatu yang sangat manis untuk diperjuangkan. Tanpa
menunggu lagi, dia segera mengambil jaket bulunya dan bergegas ke luar
apartemen dan menyebrang jalan menuju halte yang bisa mengantarkannya ke
Onehunga, apartemen Eki.
"Tunggu aku my sweetheart. Akan kita
selesaikan masalah rumah tangga kita yang kelewat asam menjadi indah dan
manis seperti coklat."(Oleh: Irhayati Harun)
Dimuat Di MedanBisnisDaily 30 maret 2014
novel yang diangkat dari kisah nyata
Sabtu, 12 April 2014
Langganan:
Postingan (Atom)
translasi
meninjau polling pengunjung
!-- Start of StatCounter Code -->